Hujan… aku menyukaimu. Sangat menyukaimu. Ketika bersamaku, menghabiskan waktu bersama di daratan yang luas ini. Namun, ada kala aku membencimu. Tahu kenapa? Karena, adakala kamu merusak sesuatu yang hampir membuatku bahagia.
Coba ingat. Sore itu, setelah menyelesaikan beban tryout yang nyangkut di otakku akhirnya musnah. Ia mencegatku di depan ruang konsul siswa. Entah apa yang difikirkannya, apa yang dilamunkannya, garis wajahnya sulit ditebak. Tapi sepucuk note kecil diberikannya kepadaku. Dan, ia berbisik pendek, “baca di rumah yaa.” Kemudian ia pergi. Keluar, mengendarai kendaraannya dengan cepat. Dan menghilang.
Entah. Aku juga jadi bingung. Apa yang ada dibenakku selama perjalanan pulang. Aku termenung, ingin membukanya namun ragu. Rasa penasaran itu merejang hingga ke ubun-ubun.
Sesampai di rumah, bunda menyapaku. Mungkin ia heran 1000 tanya mengapa aku sangat lesu.
“Say, kamu kenapa? Kok lesu gitu? Ada masalah? Cerita dong?” Aku tidak menjawab, bingung untuk berkata apa, aku meninggalkan bunda yang sedang asik membaca majalah fashion di depan ruang keluarga. Sedang aku, berlalu ke kamar sambil memegang sepucuk surat merah jambu yang belum aku ketahui apa isinya.
Setelah membersihkan diri dengan air hangat, aku kembali memegang surat itu. Surat yang membuatku mabuk kepayang. Mabuk semabuk-mabuknya. Bayangin aja, ada perasaan senang tapi juga aneh. Terus kepala jadinya nyut-nyutan. Itu kan tanda-tanda orang mabuk ya?
Jujur teman, aku takut membukanya. Takut membacanya. Apalagi yang memberikan surat itu ialah sosok raksaksa tinggi yang teramat tampan. Raksaksa baik hati. Raksaksa yang dapat memikat hatiku.
Tapi setelah mengalahkan segunung keraguan, aku membukanya. Sepucuk surat manis yang mendebarkan hatiku, ringkasnya. Isi surat itu, si raksaksa mengajak kencan di malam Minggu, tepatnya setelah kami selesai kursus Sabtu sore.
Wah, langsung speechless, gak tahu apa yang harus aku perbuat. Perasaan campur-aduk gak karuan antara senang, gembira dan rasa tidak percaya ia akan….wah so spectaculler bby……
Dan, setelah seminggu berlalu, Sabtu sorepun tiba. Ia menatapku dengan mata penuh binar, aku tak tahu apa maksud dari tatapan tersebut. Sekitar pukul 16.45 supir pribadiku pun menjemputku di tempat kursus. Tanpa berkata sedikipun aku pergi menaiki mobil meninggalkannya. Kemudian, ia mengirimkan whatapps kepadaku yang berisikan, “Jam7 nanti aku jemput ya.” Kalimat yang membuatku semakin bingung menjawabnya. Tapi tanpa sadar, jemariku mengetik kata pendek, “ya”.
Pikiranku gak karuan, bahagiaku sampai 1000 oktav, walaupun aku belum berkencan dengannya. Dan, perlu kalian ketahui, ini adalah kencan pertamaku dengan seorang pria yang cukup tampan. Aku bahagia…..
Namun, semua berbalik. Hujan deras di malam Minggu itu menggagalkan semuanya. Hatiku hancur dan led berwarna merahpun menyala dan ternyata pria itu mengirimkanku pesan di whatapps yang berisikan. “Maaf ya, di rumahku hujan deras. Acaranya kita cancel,” tulisnya, langsung membuat hatiku basah kuyup seperti ketumpahan air hujan yang deras sederas-derasanya. Hancurnya hati ini, kayak sobekan keras kecil-kecil, berhamburan, ditiup angin. (*)