Dari Belitung, Pulang ke Sermo Membawa SUP

oleh -1153 Dilihat
oleh
Saat olahraga SUP, Sumarjono sempat mampir di Batu Berlayar, Belitung.

Dan, benar. Saya langsung mak les, pulas. Sepanjang malam. Alam Belitung yang tenang, sungguh membuat lelap cepat berlabuh di peraduan. Nyaman, tentram, membawa bahagia.

Mungkin, ada hipnosis yang hebat dari cokelat susu panas sajian kedai kopi Kong Djie semalam. Jadinya, begitu bangun pagi, terasa bugar. Lalu saya mandi dan sholat subuh. Saya harus bergegas. Menyiapkan diri untuk berkompetisi.

Benar, berkompetisi. Atau tepatnya, seru-seruan. Sebab, hari itu, saatnya menjelajah Belitung. Seharian penuh berolahraga. Bermain Stand Up Paddle (SUP) di kawasan Geopark Belitung. Saya sangat bersemangat, meski deg-degan juga, karena tidak akrab dengan air.

Sebagai wong Nganjir (yang berarti tinggal di perbukitan di Kulon Progo) kehidupan saya memang tidak dekat dengan air, jadi sampai saat ini pun, tidak bisa berenang. Tapi pasti, tidak mungkin saya menolak bermain SUP, hanya karena takut air dan tidak bisa berenang. Malah, saking antusiasnya main air, sempat terfikir untuk tak mandi pagi, tapi tak enak dengan kawan kanan-kiri.

Nah yang aneh, sambil bergegas, isi kepala saya tidak terisi oleh SUP, tapi justru tertuju pada nama Belitung. Atau Belitong. Selama ini, saya memang selalu dibuat penasaran bagaimana sebuah nama diberikan. Nama pada tempat, pada benda, atau orang. Termasuk pemberian nama Pulau Belitung ini.

Kepenasaran saya tentang nama Belitung, sebesar keingintahuan pada nama saya sendiri, Nami Kulo Sumarjono. Kepenasaran saya itu, pada akhirnya, menjadi cerita tersendiri dalam buku biografi bertajuk Nami Kulo Sumarjono. Nama yang memakai awalan “Su”, eh “O” nya dua lagi.

Sumarjono bersama 7 berSUdara.

Saya percaya, nama pemberian paman saya itu, pastilah telah difikirkan masak-masak. Enam saudara saya, juga paman saya yang sama yang memberi nama. Rasa terimakasih pada paman saya itu, selalu besar. Beliau adik simbok saya. Sejak saya lahir, tinggalnya di Jogja. Jadi ya orang kota. Tapi giliran memberi nama untuk saya, yang keluar naluri ndeso, bukan naluri orang kota.

Semua nama saudara saya diawali dengan suku kata “Su”, yang dalam bahasa Sansekerta berarti baik. Jadi, karena kami ini bertujuh, saya menyebutnya 7 BerSUdara. Tujuh orang yang memiliki nama dengan awalan “Su”. 7 Ber-SU-dara dari 7 bersaudara.

Itu cerita tentang nama saya. Lalu bagaimana dengan cerita di balik nama Belitung? Pulau Belitung atau Belitong dulu pernah dikuasai oleh Great Britain. Julukan pulau ini pada saat itu adalah Billiton. Belitung atau Belitong dalam bahasa setempat memiliki arti siput laut.

Lidah orang Inggris mungkin susah menyebut Belitong. Tapi bisa juga, karena selera orang Inggris yang tinggi, Belitong dirasa kurang British, sehingga mereka menamai Billiton. Ini analisis pribadi saya yang asli Kulon Progo (saya penasaran, Kulon Progo kalau dibritishkan menjadi apa ya).

Belitung adalah keindahan yang tak terhitung. Udara yang bersih, laut yang menawan, serta alam yang memanjakan penghuninya. Siapa pun ingin menikmati Belitung. Tapi rasanya, masih perlu upaya keras untuk mengenalkan Belitung kepada dunia.  Itulah yang membawa BPJS Ketenagakerjaan bekerjasama dengan SEA Kayak Indonesia, dan Stand Up Paddle (SUP) Indonesia menyelenggarakan acara BPJS Ketenagakerjaan Geopark International Stand Up Paddle and Kayak Marathon. Pelaksanaannya, 2-4 Agustus 2019.

Pembukaan dilakukan di tanggal 2 Agustus 2019 sore, pukul 16.00 wib. Sedangkan kayak di tanggal 3 Agustus 2019. Dan di tanggal 4 Agustus 2019 diselenggarakan SUP marathon. Satu hal yang saya catat saat wawancara, Dirut BPJS Ketenagakerjaan menyampaikan, BPJSTK memiliki misi yang di antaranya mendukung pembangunan dan kemandirian perekonomian nasional. Salah satu kegiatannya melalui kegiatan Belitung Geopark International Stand Up Paddle Dan Kayak Marathon 2019 ini.

BPJSTK menjadi sponsor utama dan title sponsor penyelenggaraan lomba maraton kayak dan SUP. Olah raga kayak sepertinya sudah banyak yang mengerti. Tapi tidak untuk olah raga SUP. Ini olah raga baru.

Bu Susi adalah salah satu pemain SUP yang sudah dikenal luas. Pak Agus Susanto, Dirut BPJSTK, termasuk penggiat SUP di Indonesia. Sedangkan saya, murid  yang disiapkan Pak Agus untuk menjadi atlet SUP BPJSTK. Mungkin satu-satunya pemain SUP yang tidak bisa berenang. Maklum dibesarkan di dusun Nganjir yang terletak di gugusan pegunungan Menoreh, jauh dari air.

SUP sangat pas dipopulerkan di negeri kita. Indonesia yang wilayahnya sebagian besar lautan, sudah semestinya menjadikan laut sebagai pusat aktivitas. Pesonanya yang membentang dari ujung barat hingga ujung timur, cocok untuk bermain SUP. Inilah olah raga air yang menyenangkan. Pemainnya berdiri di atas papan serta mengayuhnya menggunakan dayung.

Sumarjono membayangkan bermain SUP di waduk Sermo.

SUP, tentu tidak hanya dimainkan di laut, tapi bisa juga di waduk atau bahkan sungai untuk arung jeram. Fakta itu yang memberi ingatan pada Menoreh. Tepatnya ke Sermo. Tiba-tiba saja muncul keinginan membawa pulang kampung SUP, suatu saat nanti. Waduk Sermo di Kulon Progo bisa jadi tempat yang ideal untuk menguji kemahiran dan kecepatan para pemain SUP.

Dan hari itu, Sabtu 3 Agustus 2019 bersama tim SUP BPJSTK, saya mencoba rute yang akan dilombakan keesokan hari. Memang tidak persis. Tentu hari itu hanya untuk pengenalan medan, bukan yang lain.

Beberapa pemain pemula ikut. Tentu seru melihat para pemula jatuh-bangun bermain SUP. Baru berdiri sejenak, jatuh tercebur. Ada yang putus asa, dan tak lagi mau mencoba. Tapi yang rajin mencoba apalagi jika hobi olah raga, akan lebih cepat mahir menunggang SUP menaklukkan ombak. Jangan takut badan menjadi gelap karena terik matahari. Asal tahu saja, terbitnya matahari justru mengusir jauh gelapnya malam (bisa jadi quote of the day nih).

Jika pelancong biasa, menikmati indahnya Belitung dengan naik perahu, kami serombongan mengayuh sendiri dengan papan SUP.  Hari itu masih sangat pagi untuk menghindari terik yang menyengat. Karena bertepatan dengan lomba kayak, setelah peluit ditiup, semua kayak meluncur deras, membuat kami harus bersiap dihempas ombak. Tak ada tim kayak dari BPJSTK.

Tapi okelah.  Berangkat dari pantai Tanjung Kelayang menuju Pulau Kepayang dan Pulau Lengkuas. Karena tidak sedang lomba, rasanya tidak seru jika langsung sampai di tujuan. Padahal ada spot menarik untuk selfie. Spot yang terkenal diantaranya di Batu Garuda. Disebut begitu karena bentuk batu itu tersusun menyerupai kepala burung garuda. Tidak lupa juga singgah di Batu Berlayar.

Sudah. Jam 11 siang, rombongan SUP amatiran ini sampai di Pulau Kepayang. Bermain air membuat perut seperti terkuras isinya sampai titik E kalau kita lihat di dasboard mobil yang menandakan bensin di mobil habis. Empty. Perut kosong.

Tidak langsung menuju resto, tapi mendampingi para pewarta (dulu namanya kuli tinta, tapi kini tak lagi menggunakan tinta) agar merasakan juga bagaimana mengendalikan SUP. Tidak gampang, banyak juga yang takut.

Saat makan siang datang kami semua, lahap. Energi kami benar-benar habis terkuras. Tidak cukup satu es kelapa muda. Saya pesan dua. Sekalian untuk antisipasi jika bentol atau keracunan karena sajian siang itu adalah sea food. Tapi saya yakin semuanya fresh. Jadi tak ada masalah.

Makan siang selesai. Saatnya, melanjutkan perjalanan dari Pulau Kelayang ke Pulau Lengkuas. Angin sudah mulai kencang dan akan berat jika kita mengayuh SUP. Semua peralatan kita angkat ke kapal. Tiga kapal membawa kami ke pulau yang ada lighthouse nya. Pulau Lengkuas.

Di sekitar pulau itu, kami bermain SUP lagi. Menjajal SUP dalam tekanan angin yang makin menjadi. Walau sebentar, perut kembali minta diisi karena cepat terkuras angin laut. Kami memesan teh manis panas dan mie instant rasa kari ayam. Lalu kembali ke Pantai Tanjung Kelayang tetap dengan menaiki perahu, karena sore itu ombak sudah semakin meninggi.

Ada yang bertanya kepada saya apakah tidak berisiko main SUP. Tentu risiko ada. Pertama, kulit menjadi gelap. Saya kurang tahu kalau sudah gelap, lalu main SUP, apakah menjadi semakin gulita. Kedua, tercebur di laut. Ini tentu sangat lazim. Bagi saya yang tak bisa berenang, pelampung merupakan teman sejati. Anak buah belum tentu sigap menolong melihat saya jatuh tercebur, apalagi jika kemarin dimarahi.

Risiko yang lain adalah terkena karang. Makanya kita menggunakan sepatu khusus dan telapak tangan ditutup dengan sarung tangan.

Binatang laut yang buas atau beracun juga perlu diwaspadai. Jangan dekat-dekat dengan lokasi yang banyak ikan hiunya. Tapi ikan hiu biasanya di laut dalam. Justru bisa kita perkirakan. Berbeda dengan hati. Dalamnya laut dapat diduga, dalamnya hati siapa tahu. Makanya hati-hati dengan hati. (*)