Di Kopi Thiwul 87, ada Kembang Gedang Favoritku…

oleh -201 Dilihat
oleh
Suasana di Kopi Thiwul 87, Kalimenur, Sukoreno, Sentolo, Kulon Progo

Akhirnya, saya duduk. Duduk di bangku lebar dengan dua resban berhadap-hadapan. Ini stelan meja dan kursi dari masa lalu. Penataan bangku ini sangat legendaris dalam benak saya. Sebab, dulu. Dulu sekali, simbah saya memilikinya. Saya sampai memohon-mohon pada bulik-bulik saya untuk melungsurkan meja dan resban semacam itu, setelah simbah sedho.

Sudah duduk manis. Saya menyapu seluruh ruangan. Ini rumah limasan yang lapang, menggambar pemiliknya yang bukan orang sembarangan di zamannya. Ada enam meja panjang-besar, lengkap dengan resban-resbannya. Saya tahu, tidak semua meja lawas, jadi saya pilih yang di tengah-tengah di bagian barat, yang saya tahu, meja itu jenis lawasan. Juga resbannya.

Tidak harus memandangi secara mendetail, satu demi  satu. Saya sudah langsung tahu, ini bukan rumah sembarangan orang. Paling tidak, rumah milik seorang yang berpunya. Jika pun, bukan dari kelas pangrehprojo, pemiliknya termasuk brahewu alias orang kaya pada masanya.

Dan, benar. Dari cerita Pak Penewu Pengasih yang malam itu, menjadi tuan rumah, dapat ditelusuri jejak pemilik rumah tabon ini. “Beliau itu, seorang petani. Dulu di bagian barat, ada rumah joglo. Tapi dibongkar, karena kayu-kayunya mulai lapuk,” jelasnya tentang rumah yang kini disulap menjadi Kopi Thiwul 87.

Memang agak sayang, semua kayu dipulas baru dengan plitur mengkilap. Kalau saya, lebih senang yang diplitur oleh alam sehingga suasana zaman dulunya terasa. Gebyok di sisi belakang, juga sebetulnya tidak perlu diplitur. Tapi ini, tentu saja, soal selera. Dan, selera saya yang barangkali, terlalu lugu.

Duduk di Kopi Thiwul 87. Diam, dan membiarkan angan berlesatan ke masa silam, banyak yang kemudian bisa dibayangkan. Saat itu, yang saya bayangkan adalah menjadi seorang brahewu. Wong mulyo dengan segala kesejahteraan hidup.

Lalu, yang ditunggu datang. Berbungkus-bungkus tempe benguk yang khas. Dari bentuk bungkusannya, semua orang Kulon Progo, yakinlah akan segera menelan ludah, membayangkan kangennya menyantap tempe benguk.

Di beberapa tempat di Kulon Progo, makanan ini juga dikenal dengan sengek. Atau tempe sengek. Terbuat dari biji benguk. Yang juga identik adalah bungkusnya. Daun pisang yang tidak lagi hijau, karena ada yang mulai menguning, layu, dan menyebar aroma khas. Semua ornamen itulah yang melengkapi adonan tempe benguk dalam membentuk rasa rindu para perantau Kulon Progo.

Itu belum selesai. Tempe benguk selalu dihidangkan bersama geblek. Ini juga hanya ada di Kulon Progo, sehingga menjadi khas. Tapi saya tidak terlalu antusias melihat geblek putih-putih dengan bulatan-bulatan kecil, membentuk angka delapan itu. Jadilah, saya menikmati tempe benguk tanpa geblek. Bahkan habis tiga bungkus sekaligus.

Tempe benguk dan geblek yang menjadi kebanggaan Kulon Progo, menjadi menu pembuka malam itu. Karena yang utama, terhidang di sisi utara. Makanan-makanan yang tak kalah menggoda, berpacak baris, disajikan di atas cobek besar berlapis daun pisang.  Di ujung barisan, ada kuwali besar. Saya mendekat, dan inilah yang saya cari: jangan mbang gedang.

Sayur kembang gedang atau bunga pisang itu, selalu menjadi favorit saya di mana-mana. Saya yakin, di Kopi Thiwul 87, menjadi menu yang bisa menuntaskan semua kerinduan saya pada jangan mbang gedang yang sudah menjadi makanan kesukaan saya sejak kecil.

Menu lain, memang menjadi saya abaikan, padahal tidak kalah lezat. Ada empal serundeng dan terancam. Lalu sayur daun kates. Ada jugabarisan ikan-ikanan, termasuk dendeng ikan asin yang pasti kemrenyes.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.