Oleh: Ki Bawang Dandangulo
dalang tanpa wayang
Menjelang petang, saya baru terbangun, setelah tidur sangat terlambat. Tadi malam, saya memang lek-lekan, mendengar radio yang sedang menyiarkan wayang paling dramatik: Karno Tanding yang dibawakan dalang kesayangan masyarakat Jogja, Almarhum Ki Hadi Sugito.
Saya tergeragap, saat tiba-tiba Kunthi, Ibu para Pandawa ambruk di depan anak sulungnya. Adipati Karno bergeming. Ia seperti abai melihat ibu kandungnya menangis dengan tangisan paling menyiksa dada. Lalu, dalam seketika saya teringat ibu saya. Ibu yang barangkali pernah, saya abaikan serupa Karna menepis uluran tangan Kunthi. Sampai kini pun saya belum menghubungi, misalnya saja sekadar mengucapkan selamat hari ibu.
Episode Baratayuda memang sedang genting. Episode paling dramatik yang mempertemukan Arjuna dan Adipati Karna. Sebuah lakon yang selalu membuat saya merinding. Dialog Kunthi dan Karna yang jumawa, sungguh sangat menusuk.
Bagi Kunthi, Arjuna dan Karna adalah anak-anak yang dicintai. Mari membayangkan dilema Kunthi, yang sudah pasti dialami para ibu yang terjepit dua kepentingan anak-anaknya. Sebuah situasi yang tidak mudah, karena siapapun yang kalah dan binasa adalah anak yang dicinta.
“Kembalilah, bersatu dengan saudara-saudaramu yang lain. Apa engkau tega berperang melawan Arjuna yang engkau sayangi, Karna.” Permohonan itu terasa mengiris hati, diucapkan Kunthi pada Karna ya Suryaputa ya Basukarna.
“Tidak ibu. Astinapura tempat saya mengabdi.” Jawaban Karna semakin mengiris hati Kunthi yang ambruk dalam tangis.
Tapi barangkali benar. Jika dilema ibu yang merana adalah serupa isi hati Kunthi, jalan cerita sudah bisa diraba. Sebab Karna yang telah diberi kesempatan bergabung, justru abai. Dalam Jitapsara, kitab perang milik para dewa, perang tanding Karna-Arjuna adalah kesemestian.
Adipati Karna tidak memberi pilihan lain, sehingga Kunthi memilih Arjuna dan meninggalkan Karna, sepahit apapun akibatnya. Toh itulah yang dikehendaki alam: seperti semesta yang niscaya berpihak pada kebenaran, seberapa kuat kejahatan memanggul kekuatan dan bala tentara.(*)