Siang-siang, masuk sasono kabujanan (halah arep muni mlebu pawon wae kok nggaya yo), bertemulah sepiring nasi merah, sambel, jangan bobor, dan tempe bacem. Sebuah pacak baris bolo padaran yang aneh. Nasi merah bertemu jangan bobor saja sudah ajaib.
Tapi yang lebih ajaib adalah selesai membariskan makanan-makanan itu, menuju perut. Dengan agak ngantuk efek kekenyangan, saya masuk gedong pustoko, niatnya mau ngenggar-enggar penggalih. Ngisis sambil nyawang orkestrasi susunan babad-babad tua yang awut-awutan dan tak semua selesai dibaca.
Dan, di antara duduk yang terkantuk-kantuk, secara samar, sak klebatan, mata menyambar kliping usang. Saya lorot satu dengan hati-hati, karena kertas korannya sudah rapuh-menguning dimakan usia. Mak regedeg, ada bunyi sobek kecil. Saya berhenti menarik, dan mengangkat tumpukan kliping-kliping yang nyaris seperti sampah itu.
Ya ampun. Sebuah tulisan kuno yang benar-benar bikin malu. Ini yang disebut dodolan politik ning wagu. Angka tahunnya, 2001. Tanggalnya 28 April. Hari dan pasarannya, Sabtu Wage. Itu bertepatan dengan tarikh 4 Shafar 1422 H. Jadi usia tulisan itu, sudah 17 tahun lebih tiga bulan. Judulnya sudah terbaca jelas, Mega, Gendari, dan Banowati. Lalu ada sub judul, Renungan Menjelang Memorandum II.
Isinya tentang apa, tidak usahlah saya kisahkan. Gambaran kecilnya, tulisan itu, saya maksudkan untuk melukis suasana anget saat itu. Paling tidak, dari yang saya rasakan. Tapi bukan itu yang ingin saya katakan, melainkan soal gaya tulisannya yang ya itu tadi, bikin malu dan wagu.
Saat menulis ulang penggalan lakon Kresno Duto, kala itu, yang terbayang adalah suasana wayangan yang bersahaja di mbale deso Tawangsari. Mohon maaf, saya selalu merasa, wayangan gagrak Jogja itu memang kelewat bersahaja, sederhana, opo anane, dengan geber yang kecil-kecil saja. Minimal itu yang tergambar dalam ingatan saya.
Tentang ini, pernah, Densus, sahabat saya nonton wayang di waktu kecil, yang sekarang menjadi pejabat Pemkab, memberi alasan. Wayangan Jogja itu, mementingkan isi. Kemasane ora penting. Kalau hanya mau lihat kemasan, rasah nonton wayang. Nonton wayang itu adalah tirakatan, lek-lekan, berjaga sepanjang malam, lalu mendengarkan pasemon-pasemon yang mengalir, memetik makna di balik pakeliran yang adiluhung.
Loh, saya malah mendapat pendapat yang sengak to dari Densus. Ilmu saya memang belum nggaduk, belum sampai pada strata batin sekelas wasi seperti densus. Tapi ya bloko-suto saja, sebagai wong Kulon Progo (yang berarti boleh mengaku wong Yojo), dulu saya agak iri dengan gaya wayangan Surakarta yang ampuh tenan: mewah, megah, gumebyar, dengan geber putih memplak tur panjang yang mentereng, serta simpingan wayang yang terasa agung.
Setiap nonton wayang di Tugu Api Pancasila Taman Mini, atau di tugu-tugu lain di ibukota, yang saya lihat adalah kemegahan itu, jika yang mayang adalah dalang gagrak Solo. Tapi lama-lama, saya kok jadi rindu wayangan Jogja yang serba sederhana. Dalam area yang kecil (sehingga penonton bisa ikut nylempit di antara para pembonang) suasana yang terbangun begitu hangat. Penonton seperti sangat dekat dengan dalang dan wayangnya.
Suasana dekat itu, semakin terasa gayeng kalau yang ndalang Ki Hadi Sugito. Full guyonan, dengan gaya mayangnya yang khas. Sesekali, di antara kelakar yang membuat regeng, Pak Gito akan menolehkan kepala ke kiri, melempar senyuman kepada niyogo atau penontonnya. Ger-geran sederhana yang ngangeni.
Sekarang, saya baru sadar dengan apa yang dingendikake Densus, setelah secara tidak sadar, saya selalu rindu cara dalang-dalang Jogja yang dodolan wayangannya opo anene itu. Ada kehangataan batin, sehingga semua cerita yang dibabar, terasa tumancep, tidak kunjung terhapus oleh apapun. Dibingkai kecrek yang cemengkling lengendaris itu, saya akhirnya paham, segala yang lugu itu pantas digugu lan ditiru.
Lalu apa hubungannya dengan tulisan wagu saya, yang usianya sudah 17 tahun itu? Hehehehe… rasanya tidak tega kalau saya menyamakan tulisan wagu saya itu dengan wayangan gaya Jogja yang ngangeni itu. Segala yang wagu dari tulisan saya itu, tentu, karena memang mampunya ya cuma segitu. Mau nulis yang ndakik-ndakik, bertabur teori, berlumur bahasa sastra, atau yang penuh petuah, rasa-rasane kok yo ora iso. Yo wes, disyukuri saja, Gusti Allah telah memberi kemampuan kecil: menjadi tukang kata yang bisanya cuma dodolan tulisan wagu.(*)