ETOS KERJA: PILAR KEMAJUAN DAN IDENTITAS SUATU BANGSA

oleh -56 Dilihat

Oleh :  Nia Samsihono

Etos kerja adalah sikap, nilai, dan prinsip yang dipegang seseorang atau suatu kelompok dalam bekerja. Etos kerja mencerminkan dedikasi, disiplin, tanggung jawab, serta semangat untuk mencapai tujuan dengan cara yang produktif dan bermakna. Dalam skala yang lebih luas, etos kerja suatu masyarakat dapat membentuk karakter sosial dan budaya kerja yang menjadi ciri khas bangsa tersebut.

Apakah etos kerja dapat menjadi ukuran kebahagiaan suatu masyarakat? Di satu sisi, masyarakat dengan etos kerja yang teratur cenderung lebih produktif dan sejahtera, yang dapat meningkatkan kualitas hidup dan kebahagiaan. Namun, jika etos kerja yang diterapkan terlalu menekan, tanpa keseimbangan dengan aspek kehidupan lain seperti keluarga dan rekreasi, maka justru bisa menimbulkan stres dan ketidakbahagiaan. Oleh karena itu, kebahagiaan masyarakat tidak hanya ditentukan oleh etos kerja, tetapi juga oleh keseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadi.

Seperti apakah etos kerja bangsa Indonesia? Pertanyaan ini timbul ketika saya tinggal beberapa saat di Sendai, Jepang. Saya mengamati kehidupan orang di kota kecil Sendai. Perilakunya, kebiasaannya, pola hidupnya. Pengamatan yang singkat yang ingin saya ketahui ketika merasakan kehidupan yang teratur, nyaman, dan penuh keindahan. Mungkinkah itu karena saya merasakannya sesaat saja? Mungkinkah karena saya tidak tinggal selamanya di tempat itu? Ataukah etos kerja mereka yang membuat suasana di tempat itu menjadi teratur dan nyaman?

Di Indonesia, negeri kepulauan yang membentang dari Sabang hingga Merauke, etos kerja orang Indonesia terjalin dalam keberagaman yang kaya. Setiap daerah, setiap suku, setiap individu membawa warna dan semangatnya sendiri dalam bekerja, menciptakan mozaik budaya kerja yang unik dan mengagumkan. Di ladang-ladang subur Pulau Jawa, para petani bangun sebelum fajar, membungkukkan punggung mereka di bawah mentari demi memastikan butir padi tetap menguning. Mereka adalah simbol ketekunan tanpa keluh, bekerja dalam irama alam yang telah diwariskan turun-temurun. Sementara itu, di pesisir Sulawesi, para nelayan mengarungi lautan luas, menantang gelombang dengan keberanian, karena bagi mereka, kerja adalah perjuangan yang harus dilalui dengan kesabaran dan keyakinan.

Di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, semangat kerja meledak dalam hiruk-pikuk jalanan. Pegawai kantoran melangkah cepat, berpacu dengan waktu dan target, memegang erat prinsip kerja keras dan daya saing. Di antara gedung-gedung tinggi, para pedagang kaki lima menata dagangan mereka dengan penuh harapan, mengandalkan kegigihan dan kreativitas untuk bertahan di tengah persaingan.

Di pelosok Papua, para guru berjalan berkilo-kilometer, melewati hutan dan sungai, demi menyampaikan ilmu kepada anak-anak bangsa. Mereka adalah wajah ketulusan, yang percaya bahwa kerja bukan sekadar mencari nafkah, tetapi juga tentang berbagi dan mengabdi. Dari Sabang hingga Merauke, dari yang bekerja dengan tangan hingga yang berkarya dengan pikiran, etos kerja orang Indonesia selalu berpijak pada nilai-nilai luhur: gotong royong, kerja keras, keuletan, dan semangat pantang menyerah. Meskipun cara dan tempat berbeda, tujuan sama—berkontribusi bagi diri, keluarga, dan negeri yang mereka cintai.

Sementara itu, saya mengamati kehidupan di Sendai, Jepang. Pagi di Sendai datang dengan lembut, seperti embun yang menyentuh kelopak bunga sakura sebelum jatuh ke tanah. Di sudut-sudut kota yang masih diselimuti keheningan, perempuan-perempuan Jepang memulai harinya dengan langkah-langkah kecil yang tertata rapi, seolah mengikuti irama waktu yang tak pernah tergesa. Di sebuah rumah tradisional dengan pintu geser kayu yang sedikit berderit, seorang perempuan muda mengikat rambutnya ke belakang sebelum menyeduh teh hijau. Uap tipis melayang dari cangkir porselen, membawa aroma matcha yang bercampur dengan kesejukan pagi. Ia duduk di tatami, menatap taman kecil di halaman, tampak lumut hijau berkilau di bawah sinar matahari pertama. Sejenak, ia menikmati ketenangan sebelum dunia kembali bergerak.

Jalanan Sendai yang Bersih 

Di jalanan Sendai yang bersih, perempuan-perempuan dengan kimono kasual atau pakaian kerja melangkah dengan tenang. Beberapa dari mereka membawa tas anyaman berisi sayuran segar dari pasar pagi, sementara yang lain menunggu bus sambil menggenggam termos kecil berisi kopi. Ada yang bersepeda menuju kantor, rok panjangnya berkibar tertiup angin. Ada pula yang singgah sebentar di kuil kecil, merapatkan tangan dalam doa singkat sebelum melanjutkan hari. Di sudut kafe bergaya minimalis, seorang ibu muda menyuapi anaknya sambil tersenyum. Di meja lain, seorang gadis duduk sendiri, menulis sesuatu di buku catatannya—mungkin sebuah puisi, mungkin sekadar daftar tugas hari ini.

Pagi di Sendai bukan hanya tentang rutinitas, tapi juga tentang harmoni. Setiap perempuan di kota ini menjalani pagi dengan cara mereka sendiri, namun ada kesamaan dalam kelembutan langkah dan ketenangan hati. Seperti angin yang berbisik di antara pepohonan, mereka bergerak tanpa tergesa, memberi ruang bagi diri sendiri sebelum dunia menuntut terlalu banyak.

Sendai memang terkenal dengan ketenangan dan kesopanan warganya. Di tempat umum seperti bus, kereta, atau bahkan kafe, orang-orang cenderung diam atau berbicara dengan suara pelan. Ini bukan karena mereka tidak suka berbicara, tetapi lebih karena budaya menghormati ruang pribadi dan kenyamanan orang lain. Biasanya, orang-orang di Sendai akan mengobrol saat mereka bersama teman atau keluarga di tempat yang lebih santai, seperti restoran, izakaya (bar Jepang), atau di rumah. Bahkan di kampus atau kantor, percakapan lebih sering terjadi dalam suasana yang lebih informal, seperti saat makan siang atau setelah jam kerja. Namun, jika mereka berbicara di tempat umum, volumenya tetap rendah. Ini berbeda dengan budaya di beberapa negara lain di mana percakapan di tempat umum bisa lebih hidup dan ekspresif. Jadi, suasana hening di bus atau kereta di Sendai bukan berarti orang-orang di sana tidak suka ngobrol, tetapi lebih karena mereka menghargai ketenangan bersama.

Sendai itu ibu kota Prefektur Miyagi di wilayah Tōhoku, Jepang. Kota ini dikenal sebagai “Kota Pohon” (杜の都, Mori no Miyako) karena banyaknya pepohonan yang tumbuh di sepanjang jalan dan taman kota. Sendai adalah kota terbesar di wilayah Tōhoku dan memiliki keseimbangan antara kehidupan urban yang modern dan nuansa alam yang masih asri. Di kota itu terdapat. Zuihōden – Makam Date Masamune, pendiri Sendai, dengan arsitektur khas zaman Edo. Juga ada Kastil Sendai (Aoba Castle) – Reruntuhan kastil di atas bukit yang menawarkan pemandangan kota yang indah. Ada Osaki Hachimangu – Kuil bersejarah dengan desain khas periode Edo. Ada Sendai Mediatheque – Pusat budaya dan perpustakaan modern dengan desain arsitektur unik. Ada Matsushima – Salah satu dari “Tiga Pemandangan Terindah Jepang,” terkenal dengan gugusan pulau-pulaunya.

Masyarakat Sendai dikenal ramah dan memiliki semangat yang kuat dalam menghadapi tantangan, terutama setelah gempa bumi dan tsunami tahun 2011. Kota ini juga menjadi pusat akademik dan riset karena adanya Tohoku University, salah satu universitas terbaik di Jepang.

Sendai memiliki kehidupan yang cukup nyaman dengan biaya hidup yang lebih rendah dibandingkan Tokyo. Cuaca di kota ini cukup sejuk, dengan musim dingin yang tidak terlalu ekstrem dan musim panas yang lebih nyaman dibandingkan kota-kota di selatan Jepang. Sendai menampilkan diri sebagai sebuah kota yang menawarkan keseimbangan antara kehidupan modern dan alam yang asri.

Masyarakat kota Sendai mencerminkan etos kerja dan kehidupan masyarakat Jepang yang khas: disiplin, ketekunan, serta sikap hormat terhadap waktu dan tanggung jawab. Di pagi hari, orang-orang berjalan cepat menuju stasiun, wajah mereka serius, mata fokus ke depan. Mereka tak banyak bicara, hanya sesekali mengangguk sopan. Bagi mereka, keterlambatan adalah bentuk kelalaian yang memalukan. Di Sendai, seperti di kota-kota Jepang lainnya, pekerjaan bukan sekadar mata pencaharian, tetapi juga bentuk pengabdian. Bahkan setelah jam kerja usai, banyak yang memilih untuk tetap tinggal, menyelesaikan tugas tanpa keluhan.

Desa di Indonesia Ritme Kehidupan Berbeda 

Di sisi lain, jika kita melangkah ke desa-desa di Indonesia, terutama di pinggiran kota, ritme kehidupan terasa berbeda. Waktu seolah bergerak lebih lambat. Pagi dimulai dengan obrolan di warung kopi, dan meskipun pekerjaan sudah menunggu, selalu ada ruang untuk bercanda, berbagi cerita, atau sekadar menikmati teh hangat sebelum memulai hari. Di ladang, sawah, atau bengkel kecil di tepi jalan, kerja memang tetap dijalankan dengan tekun, tetapi tanpa tekanan yang menyesakkan. Jika lelah, rehat sejenak bukanlah hal yang tabu.

Di Sendai, masyarakatnya terbiasa hidup dalam keteraturan dan kecepatan. Sepeda dikayuh tanpa ragu, kendaraan melaju tanpa klakson yang memekakkan telinga. Setiap orang tahu perannya, dan menjalankannya dengan serius. Sementara itu, di desa-desa Indonesia, kehidupan terasa lebih cair. Ada fleksibilitas dalam segala hal—dari waktu kerja hingga cara menjalani hidup. Kerja keras tetap ada, tetapi dihiasi dengan keluwesan dan kebersamaan.

Keduanya punya keunikan masing-masing. Sendai adalah cerminan disiplin dan dedikasi yang tinggi, sementara masyarakat desa di Indonesia menunjukkan bahwa kerja keras tak harus selalu beriringan dengan ketegangan. Jika di Jepang, seseorang bisa merasa bersalah karena pulang lebih awal, di Indonesia, pulang lebih awal berarti ada waktu lebih banyak untuk bersama keluarga. Pada akhirnya, baik di Sendai maupun di Indonesia, orang-orang bekerja dengan cara mereka sendiri, menjalani hidup sesuai dengan nilai-nilai yang mereka pegang teguh.

Etos kerja orang Indonesia dan Jepang memiliki perbedaan mendasar yang berakar pada budaya dan nilai-nilai yang dianut masing-masing bangsa. Di Jepang, kerja bukan sekadar mata pencaharian, tetapi bentuk pengabdian dan kehormatan. Prinsip ganbaru—berusaha sampai batas maksimal—menjadi pegangan. Mereka bekerja dengan disiplin tinggi, menghargai ketepatan waktu, dan menanamkan rasa tanggung jawab yang kuat. Sistem kerja di sana menuntut loyalitas, di mana seorang karyawan sering merasa terikat pada perusahaan seperti keluarga kedua. Lembur dianggap sebagai tanda dedikasi, dan bekerja dalam diam tanpa banyak keluhan adalah bentuk profesionalisme yang dijunjung tinggi.

Sementara itu, orang Indonesia juga memiliki etos kerja yang kuat, tetapi lebih fleksibel dan berakar pada nilai kebersamaan. Di banyak tempat, gotong royong lebih diutamakan dibanding persaingan individu. Bekerja keras tetap menjadi prinsip, tetapi dengan cara yang lebih cair, menyesuaikan dengan kondisi sekitar. Orang Indonesia cenderung mengutamakan keseimbangan antara kerja dan kehidupan sosial, menjadikan hubungan antarmanusia sebagai bagian penting dari proses bekerja.

Jika di Jepang kerja sering kali menjadi identitas, di Indonesia kerja lebih banyak dianggap sebagai bagian dari kehidupan, bukan tujuan utama. Kesuksesan di Jepang sering diukur dari dedikasi dan pencapaian di tempat kerja, sementara di Indonesia, kesuksesan juga dinilai dari keharmonisan dalam keluarga dan lingkungan. Perbedaan ini mencerminkan bagaimana budaya membentuk cara pandang terhadap kerja, antara ketepatan dan disiplin ala Jepang serta kehangatan dan fleksibilitas khas Indonesia.

Etos kerja yang baik berkontribusi pada keteraturan kehidupan sosial dan pemerintahan. Masyarakat yang memiliki etos kerja tinggi cenderung lebih disiplin, bertanggung jawab, dan menghargai waktu serta aturan. Dalam lingkup pemerintahan, etos kerja yang kuat mencerminkan birokrasi yang efisien, transparan, dan berorientasi pada pelayanan publik. Negara-negara dengan budaya kerja yang baik umumnya memiliki pemerintahan yang lebih stabil dan sistem yang lebih tertata.

Etos kerja tidak hanya mencerminkan bagaimana suatu masyarakat bekerja, tetapi juga menjadi bagian dari identitas nasional. Beberapa negara dikenal dengan budaya kerja mereka—Jepang dengan semangat kaizen dan disiplin tinggi, Jerman dengan ketepatan dan efisiensinya, Amerika Serikat dengan semangat kompetitifnya. Etos kerja yang khas inilah yang membentuk citra sebuah bangsa di mata dunia.

Pada akhirnya, etos kerja bukan hanya tentang bagaimana seseorang bekerja, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat membangun peradaban dan masa depannya. Etos kerja yang kuat, jika diimbangi dengan kebijaksanaan dan keseimbangan hidup, dapat menjadi fondasi bagi kesejahteraan, keteraturan, dan identitas sebuah bangsa.(*)

(Nia Samsihono adalah Ketua Umum Satupena DKI Jakarta. Saat ini bertugas di Sendai, Jepang)