Oleh : Gunoto Saparie
Dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) Jawa Tengah tanggal 27 November 2024 kita menemukan kenyataan yang harus diakui cukup memprihatinkan. Kenyataan itu adalah fenomena persentase golongan putih (golput) yang meningkat. Angka partisipasi pemilih pada Pilgub Jawa Tengah 2024 ternyata hanya 19.166.027 dari total 28.427.616 Daftar Pemilih Tetap (DPT). Ini berarti, partisipasi pemilih di Jawa Tengah hanya berada di angka 67,42 persen dan angka golput di angka 32,58 persen.
Kalau kita melihat angka golput pada Pilgub Jawa Tengah tahun 2018 yang berada di angka 32,36 persen, berarti kali ini angka golput mengalami peningkatan sebesar 0,22 persen. Meskipun Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum resmi merilis hasil perolehan suara paslon ke publik, namun kita dapat mengintip total suara masing-masing paslon dengan menggunakan fitur inspect element di browser.
Caranya dengan melihat file bernama pkwp.json. File tersebut berasal dari hasil request ke endpoint Application Programming Interface (API) milik KPU. Kode provinsi Jawa Tengah menurut Kemendagri adalah 33. Dengan menyesuaikan kode provinsi dengan struktur data pkwp.json, diketahui bahwa pasangan paslon nomor urut 02 Ahmad Lutfi-Taj Yasin unggul dengan perolehan suara 11.336.032 atau setara 59,15 persen. Sementara itu, paslon 01 Andika Perkasa-Hendrar Priadi memperoleh 7.829.995 suara atau 40,85 persen.
Memang, partisipasi warga negara dalam pemilihan umum bisa berarti memilih atau tidak memilih dalam pemilu. Ini berarti, perilaku memilih mencakup memilih dan juga tidak memilih, memberikan suara atau tidak memberikan suara (golput) dalam pemilu. Pemilih memiliki pandangan yang obyektif sekaligus subyektif ketika memilih sebuah partai atau seorang kontestan dalam diri pemilih terdapat dua orientasi sekaligus, yaitu orientasi policy-problem-solving dan orientasi ideologi .
Pertimbangan pemilih dipengaruhi oleh tiga faktor pada saat yang bersamaan. Pertama, kondisi awal pemilih; kedua, media massa; dan ketiga, partai politik atau kontestan. Dari ketiga faktor tersebut dan dipengaruhi oleh orientasi ideologi dan orientasi policy-problem-solving pemilih dapat pemilih dapat dikategorikan menjadi pemilih rasional, pemilih kritis, pemilih skeptis, dan pemilih tradisional.
Kalau seseorang memutuskan untuk memilih kandidat atau parpol mana yang dipilihnya, hal ini disebabkan si pemilih merasa yakin bahwa kandidat atau parpol yang dipilihnya dalam pemilu diyakini akan mampu membawa dan memperjuangkan aspirasinya. Akan tetapi, kalau ia berlaku sebaliknya, yaitu menolak untuk memberikan suara dan tidak menjatuhkan pilihannya pada kandidat atau parpol yang bersangkutan, kemungkinan karena kritis, skeptis, merasa tidak ada kandidat atau parpol yang cocok baginya.
Perilaku golput merupakan bentuk partisipasi politik warga negara yang muncul karena beragam latar belakang. Memilih adalah hak politik warga negara yang mengandung kebebasan pemilik hak untuk menggunakan atau tidak menggunakan hak pilihnya. Dalam kaitan ini Eep Saifullah Fatah membagi golput menjadi empat macam. Pertama, golput teknis, yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu menjadi golput. Misalnya karena sakit parah dan tidak bisa memilih. Kedua, golput teknis politis, yakni golput karena kesalahan teknis dari KPU atau diri sendiri. Ketiga, golput politis, yakni mereka yang merasa tidak mempunyai pilihan dari kandidat yang tersedia atau tidak percaya bahwa pemilu alan membawa perubahan atau perbaikan. Keempat, golput ideologis, yakni mereka yang tidak percaya pada mekanisme demokrasi dan tidak mau terlibat di dalamnya, entah karena alasan fundamentalisme agama maupun alasan politis-ideologis lainnya.
Golput Dengan Berbagai Alasan
Menjadi golput tentu saja merupakan hak mereka. Mereka memang menerima kartu pemilih kartu pemilih dan surat undangan, namun mereka tidak menggunakan hak pilihnya pada Pilgub Jateng 2024 yang lalu. Beribu alasan dapat dikemukakan mengapa mereka tidak tertarik datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada Pilgub Jateng 2024. Misalnya, memiliki kegiatan lain saat dilangsungkannya Pilgub, seperti sedang bekerja, keluar kota, sengaja tidak datang karena malas, dan tidak dapat uang saku.
Atau mungkin mereka beralasan bahwa Pilgub Jateng 2024 tidak mampu memenuhi harapan masyarakat akan adanya perubahan masyarakat Jateng yang lebih baik. Bukankah ada atau tidaknya Pilgub Jateng, keadaan masyarakat Jateng tetap akan sama saja? Mereka mungkin melihat figur calon gubenur dan wakil gubernur tidak sesuai dengan harapan mereka. Oleh karena itu, bagi mereka Pilgub Jateng kali ini dianggap tidak akan menghasilkan kepemimpinan yang visioner dan memiliki dampak terhadap perubahan masyarakat Jateng.
Bayangan mengenai fenomena ancaman golput dalam Pilgub Jateng 2024 agaknya memang telah diprediksi oleh KPU Jawa Tengah. Oleh karena itu, KPU Jateng menggandeng puluhan organisasi kemasyarakatan untuk melakukan sosialisasi dan pendidikan pemilih, guna meningkatkan angka partisipasi masyarakat dalam Pilgub Jateng.
Golput memang bukan fenomena baru dalam lanskap politik Indonesia. Kemunculannya dapat ditelusuri kembali ke masa-masa awal Orde Baru. Istilah golput pertama kali muncul menjelang Pemilu 1971, yang merupakan pemilu pertama era Orde Baru. Pada 3 Juni 1971, sekelompok mahasiswa, pemuda, dan pelajar berkumpul di Balai Budaya Jakarta untuk memproklamirkan berdirinya “Golongan Putih” sebagai gerakan moral. Arief Budiman dan Adnan Buyung Nasution menjadi motor penggerak gerakan ini. Mereka merasa aspirasi politik mereka tidak terwakili oleh wadah politik formal yang ada saat itu. Gerakan ini menyerukan kepada masyarakat untuk menusuk bagian putih (kosong) di antara tanda gambar partai yang ada pada surat suara.
Setelah era reformasi, fenomena golput tetap ada namun dengan konteks yang berbeda. Golput tidak lagi hanya sebagai gerakan moral atau protes politik, tetapi juga muncul karena faktor-faktor teknis dan pragmatis. Angka golput pun cenderung meningkat dari pemilu ke pemilu.
Ketika fenomena golput ini memiliki dampak yang tidak bisa diabaikan terhadap kualitas demokrasi di Indonesia, tentu saja kita layak bersedih. Betapa tidak? Bukankah tingginya angka golput dapat mengurangi legitimasi kepala daerah terpilih? Meskipun secara hukum sah, kepala daerah yang terpilih dengan partisipasi pemilih yang rendah akan menghadapi tantangan dalam menjalankan program kerjanya. Hal ini karena kurangnya dukungan dan kepercayaan publik. Selain itu, potensi resistensi yang lebih besar terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil.
Golput dalam jumlah besar boleh dikatakan dapat mengancam esensi demokrasi itu sendiri. Hal ini karena demokrasi yang sehat membutuhkan partisipasi aktif dari warganya. Ketika banyak warga memilih untuk tidak berpartisipasi, maka keputusan-keputusan penting negara hanya ditentukan oleh sebagian kecil populasi. Selain itu, golput yang tinggi, terutama di kalangan pemilih muda, dapat menghambat proses regenerasi politik. Ketika generasi muda tidak terlibat dalam proses demokrasi, maka suara dan aspirasi mereka tidak terakomodasi dalam kebijakan publik. Bahkan munculnya pemimpin-pemimpin muda yang berkualitas pun menjadi terhambat.
Fenomena golput dalam Pilgub Jateng 2024 ini tentu saja merupakan tantangan bagi KPU Jateng, selain bagi partai politik sendiri. Peningkatan sosialisasi atau menyebarluaskan tahapan pelaksanaan pilkada serentak, termasuk pilgub, sangat penting dilakukan dalam rangka meminimalisasi golput. Apalagi sebagian besar penduduk di Jateng berada di pedesaan, di mana mereka jauh dari akses transportasi dan informasi. Harus ada upaya yang maksimal untuk meminimalisasi meningkatnya angka masyarakat yang tidak memilih. Karena kualitas Pilgub Jateng secara tidak langsung juga dilihat dari legitimasi gubernur-wakil gubernur terpilih. Semakin kuat dukungan rakyat, maka semakin kuat pula tingkat kepercayaan masyarakat.(*)
Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah