Perang sedang mengerang. Baratayuda mendekati detik-detik genting, dengan suasana yang semakin gerah. Orang-orang diam, sementara yang bersuara adalah teriakan saling tuding.
Dan, di tapal batas Kurukasetra, para prajurit masih siaga, meski perang sejenak berhenti karena malam datang. Ki Lurah Petruk termangu di samping Ki Lurah Bagong yang bengong. Sesekali suasana berubah oleh ulah Ki Lurah Gareng saat menyentil upil ke udara. Setelah itu, semua kembali terkulai dalam luka terdalam: Luka raga, luka jiwa.
Mereka, para Punakawan itu merasakan betul luka di dalam dada. Sebab, satu demi satu Bendoro mereka tumpas jadi tumbal Baratayuda. Ketiganya seperti kehilangan pegangan karena kematian menjemput hampir semua putra-putra terbaik Pandawa.
Maka di bibir Kurusetra itu, mereka sudah sampai pada situasi tersulit dalam hidup. Sulit karena sudah kehilangan lucu. Gareng, Petruk, Bagong seperti bukan dirinya sendiri. Karena ditinggalkan tawa yang selama ini membuat hidup para Pandawa sebagai ksatria yang memikul beban tanggungjawab yang besar, terasa lebih ringan.
“Lalu apa gunanya ada Petruk kalau sudah begini. Ayo kang gareng, ayo Gong, kita pergi. Kita sudah tidak dibutuhkan di sini,” kalimat Petruk terasa menyayat. Dia adalah sosok paling perasa di antara Punakawan bertiga, jadilah suasana semakin tintrim, sendu yang mencekam. Udara seperti tak bergerak, sedang malam bertambah kelam.
Pilpres eh salah, Bharatayuda membuat kita kehilangan Punakawan. Perang telah membawa tawa, entah ke mana. Suasana ini, saya ingat betul, magisnya. Brontoyudo memang magis. Ingatan saya terlempar pada sebuah pergelaran wayang kulit, di Taman Mini. Mungkin sudah bertahun-tahun lalu. Brontoyudo saat itu, sangat mengejtukan.
Ketika gamelan lirih menuju pelan karena adegan Petruk menangis, suarawati melakukan tembang sendu. Babak memasuki seperempat terakhir pertunjukkan saat kantuk seperti tak tertahan.
Antara terjaga dan terlena, tiba-tiba, bersama gerak gending yang mulai riuh, dari belakang saya duduk, terdengar suara keplok ritmis mengikuti gamelan dan lengking suarawati. Tidak lama, di antara keplok itu, terdengar suara gerong menyela sebagai interval lagu. Tapi tidak lama. Sebab ada yang bergerak meminta orang yang keplok dan gerong itu berhenti.
“Brontoyudo kok gerong,” kata seseorang itu setelah berhasil membungkam keplok dan gerong yang saya tahu datang dari Mas Matias, seorang tunanetra Pecinta wayang. Dia adalah orang yang selalu nonton wayang di mana pun ada wayang dengan siapapun dalangnya. Dan, karena Baratayuda, malam itu Matias kehilangan kegembiraan nonton wayang.(*)