Gunung Lawu-2: Tempat Moksa Sang Brawijaya

oleh -498 Dilihat
oleh

Di Gunung Lawu, Majapahit sebenar-benarnya sirna. Sebab di tempat inilah, Brawijaya Pamungkas, moksa; meninggalkan segala sejarah dunia (yang berisi kemewahan sebagai raja hingga problematikanya) untuk hidup abadi di sisi Sang Pencipta.

Itulah, setidaknya keyakinan yang terus dipelihara oleh orang Jawa. Berakhirnya masa hidup Brawijaya V, yang menjadi benteng terakhir Majapahit, dianggap lebih pantas moksa dari pada cara-cara lain. Misalnya saja, akhir hidup dengan cara takhluk pada Raden Patah, putra sekaligus penerus dinasti Majapahit yang mendirikan Kerajaan Demak. Brawijaya juga dirasa lebih terhormat moksa di banding mati kemudian dikebumikan.

Pilihan kisah hidup yang berakhir moksa, diresapi jauh lebih sakral bahkan jika di bandingkan dengan mangkat kemudian diabukan di  sebuah candi. Sebab, hanya dengan menyebut moksa, Brawijaya V tetap menjadi raja sebuah negarigung Majapahit, dengan segala kebesaran, kemegahan serta segenap misterinya.

Maka begitulah. Kisah kemoksaan Prabu Brawijaya V, menjadi cerita yang jauh lebih diyakini, hingga kini. Dan, Gunung Lawu yang keramat, dirasa pas sebagai tempat moksa bagi seorang raja besar yang penuh keagungan;  mengakhiri hidup dengan cara dramatis, ketika istananya digerus zaman, sementara hidupnya sendiri berada dalam pelarian, dikejar pasukan Demak.

Raja agung Majapahit itu, terus berlari. Hidupnya, bagai sebuah ironi. Hari-harinya, dihabiskan, dari tempat-tempat persembunyian. Perjalanannya, blusukan ke dusun-dusun kecil, terselubung dalam penyamaran. Tanpa kemewahan. Tak ada kemegahan selain jiwanya yang setia pada prinsip-prinsip luhur seorang raja.

Keluhuran raja besar Majapahit itu, ditandai dengan bangunan Candi Sukuh, saat rombongan rahasia mereka, bersembunyi di Dusun Sukuh, Desa Berjo, Karanganyar. Tapi rupanya, justru karena keinginan membangun tempat suci, jejaknya sebagai Brawijaya terkuak. Segeralah, pasukan Demak mengejar. Pelarian kembali dilanjutkan.

Tanpa menghiraukan candi yang belum sempurna, sang raja telanjur harus menyelamatkan rombongan. Mereka bergegas. Tergesa-gesa menghilangkan tapak kaki, menuju puncak Lawu yang keramat.

Bergerak ke arah timur dari Sukuh, Brawijaya mendekati puncak Lawu. Di sanalah, rombongan kembali membangun tempat suci. Sebuah candi yang penuh tanda-tanda gaib. Namanya candi Cetho. Tapi lagi-lagi, proses pembangunan candi tak sempurna. Brawijaya kembali harus berlari. Kali ini, yang mengejar adalah pasukan Adipati Cepu. Pilihan Brawijaya untuk mempertahankan hidup, tak lagi banyak.

Dan, langkahnya meniti puncak Lawu, bagai sasmita hidup, bahwa perjalanannya menuju alam keabadian, kian dekat. Benar. Di Lawu, ketika terdesak dan tersudut oleh pasukan Adipati Cepu, Brawijaya justru merasa semakin dekat dengan tempat para dewa bertahta. Maka, di atas ketinggian itulah, Brawijaya V mengakhiri hidup dalam proses moksa yang sakral penuh keagungan.(bersambung)