Hari Ini, Mengenang 72 Tahun Meninggalnya KH Mas Mansoer

oleh -450 Dilihat
oleh

Hari ini, 25 April 2018. Mari mengucap doa untuk kelapangan kubur KH Mas Mansoer. Dialah pejuang kemerdekaan, tokoh Islam, serta intelektual yang diangkat menjadi Pahlawan Nasional.

Di antara tokoh-tokoh bangsa, KH Mas Mansoer  termasuk sosok yang gigih memperjuangkan kemerdekaan. Lahir di Surabaya, ia anak orang kaya. Ibundanya, Raudhah seorang terpandang yang datang dari keluarga Pesantren Sidoresmo Wonokromo Surabaya.

Sementara itu, KH  Mas Achmad Marzoeqi, juga tak kalah tenar. Ayah  Mas Mansoer itu, dikenal sebagai  ahli agama, keterunan bangsawan Astatinggi Sumenep, Madura. Posisinya sebagai tokoh Islam, semakin kuat setelah ia dipilih memegang jabatan terpandang sebagai imam tetap dan khatib di Masjid Sunan Ampel.

Memiliki orangtua yang berlatar agama kuat, Mas Mansoer menimpa ilmu dari mereka. Selain berbekal ilmu dari sang ayah, ia juga belajar di Pesantren Sidoresmo, milik keluarga ibundanya. Tapi pada usia 10 tahun, ia mondok di  Pesantren Demangan, Bangkalan, Madura. Dua tahun di Madura, Mas Mansoer pulang, karena Kiai Khalil, gurunya sekaligus tokoh sentral pesantren itu, meninggal dunia.

Saat usianya masih remaja, di tahun 1908, Mas Mansoer berlayar ke Mekkah. Selain menunaikan ibadah haji, juga belajar pada Kiai Mahfudz, ulama di Mekkah  yang berasal dari Pondok Pesantren Termas Pacitan Jawa Timur.

Dari Mekkah, empat tahun kemudian, Mas Mansoer pindah ke Mesir. Pergolakan politik ddi Saudi, justru membuatnya memiliki kesempatan kuliah di Universitas Al Azhar Kairo, meski ayahnya agak kurang cocok dengan iklim kehidupan kota Kairo.

Tahun 1915, Mas Mansoer pulang ke tanah air. Lalu, menikahi Siti Zakijah dan memiliki enam buah hati. Sejak itulah, ia bergerak di berbagai kegiatan, setelah masuk Sarekat Islam. Oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto, Mas Mansoer dipercaya sebagai Penasehat Pengurus Besar Sarekat Islam.

Selain aktif di SI, Mas Mansoer juga mendirikan beberapa kelompok diskusi dan sekolah. Lalu, merambah dunia penerbitan dengan mendirikan Majalah Soeara Santri. Setelah itu, terbit majalah kedua bernama Djinem yang memakai bahasa Pagon: bahasa Jawa yang ditulis dalam huruf Arab.

Menginjak  tahun 1921, Mas Mansoer menapaki sejarah baru dengan menjadi aktivis Muhammadiyah. Karirnya di organisasi pembaharu ini, terbilang cemerlang. Ia pernah menjadi Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya, dilanjutkan sebagai Konsul Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur. Karirnya di Muhammadiyah dipetik pada 1937 hingga 1943, saat terpilih menduduki jabatan Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah.

Setelah pindah ke Jogjakarta (setelah menjadi Ketua PB Muhammadiyah) langkah Mas Mansoer, semakin lebar. Pergaulannya juga semakin luas hingga berskala nasional. Puncak karir politiknya terjadi saat ia tercatat sebagai empat serangkai bersama Bung Karno, Bung Hatta, dan Ki Hajar Dewantara. Pada era itulah, Mas Mansoer hijrah ke Jakarta.

Suasana politik di Jakarta, apalagi di bawah penjajahan Jepang, membuat Mas Mansoer memutuskan pulang ke Surabaya. Ia tidak kerasan. Tapi ketika NICA kembali masuk Surabaya setelah Jepang kalah, Mas Mansoer ikut berjuang sampai akhirnya ditangkap Belanda. Dan, di tengah heroisme perang kemerdekaan, Mas Mansoer jatuh sakit lalu meninggal 25 April 1946. (kib)