Ini cara anak muda Jombokarta (sekali lagi ini sebutan khas komunitas kami untuk Dusun Jombokan dengan harapan menjadi lebih karto lan raharjo) dalam berbahasa. Bukan bahasa Jawa yang dikenal umum tapi bahasa aneh yang hanya diketahui oleh komunitas terbatas.
Begitulah. Deso mowo coro negoro mowo toto. Dalam berbahasa pun setiap desa memiliki cara yang berbeda. Di banyak daerah di Pulau Jawa, sudah sejak lama muncul fenomena bahasa anak muda. Di Jakarta ada bahasa gaul yang menambahkana kata OK di antara suku kata yang terucap. Lalu kata awalnya hanya diambil bagian depannya. Misalnya saja kata Preman, diambil kata depannya yaitu Prem kemudian diselipkan huruf Oke menjadi PrOKem.
Di Jogjakarta, yang sangat populer adalah bahasa ‘dagadu’. Ini adalah bahasa gaul atau bahasa preman anak-anak muda Jogja. Bahasa ini, sebenarnya nyaris sama dengan bahasa Bagongan yang dikembangkan di Keraton Jogjakarta dengan menggunakan huruf Jawa.
Sementara itu, bahasa walikan berkembang di Solo, Semarang, serta yang sangat terkenal adalah bahasa walikan Malang. Namun setiap bahasa walikan memiliki rumus yang berbeda-beda, sesuai dengan perkembangan yang terjadi di wilayah-wilayah tersebut.
Dan, di antara fenomena bahasa gaul yang banyak bermunculan, terselip bahasa komunitas Waria. Mereka menciptakan bahasa sendiri, yang kemudian menyebar di luar komunitas mereka, termasuk banyak dipakai di kalangan selebriti.
Lalu bagaimana dengan di Jombokarta atau Jombokan? Menurut Denwin, bahasa gaul Jombokan sudah berkembang sejak generasi lampau. Era tahun 70an sudah berkembang di antara anak-anak muda. Ia termasuk yang paling paham berbahasa ini, karena banyak bergaul dengan para seniornya.
Mbahro yang juga pengguna bahasa gaul Jombokarta menambahkan, bahasa ala anak muda Jombokan sudah dipakai sejak jamannya Pak Jat, menyebut seorang tokoh lokal yang sukses menjadi pejabat di Jakarta. “Iya jamane pak Jat wes pakai bahasa ini,” tegasnya.
Rumusan bahasa gaul Jombokan, tambah Mbahro, mengalami pergeseran. “Jaman Pak Jat, sisipane ed, ad, ud, od, id. Bukan seperti sekarang dengan sisipan es, as, us, is, os. Contone, aku karo kowe, diganti bahasa gaul dadi adakudu kadaarodo kdowede,” jelas Mbahro.
Memang, timpal Denkus, bahasa gaul Jombokan terus berkembang. Setelah era anak muda 70an, muncul bahasa dengan sisipan yang berbeda. Imbuhannya adalah es.”Tapi tidak terlacak sejak generasi siapa. Saat ini juga berkembang dengan sisipan agak anyar. Sisipannya ask. Contone, kata aku karo kowe menjadi, akasku korasko kowaske,” jelasnya.
Jadi begitulah. Bahasa gaul sesungguhnya merupakan bahasa sandi. Sudah berkembang sejak lamapu. Pernah dipakai para ulama dalam syiar maupun memerangi penjajah, sehingga saat itu, misalnya saja muncul bahasa Arab pegon. Bahasa sandi, juga dipakai para pejuang kemerdekaan, umpamanya saja oleh pasukan yang menamakan diri Gerilya Rakyat Kota (GRT) yang ngedap-dedapi di Malang yang kemudian melahirkan bahasa walikan khas kota itu.(joy)