Rasa rindu pada kampung halaman di Samigaluh akhirnya terwujud. Selama masa pandemi Covid 19, hampir tak ada akses untuk bepergian karena semua daerah menerapkan lock down.
Baru setelah memasuki masa New Normal, sarana transportasi mulai dilonggarkan. Namun bepergian juga tak mudah, apalagi dengan menggunakan transportasi publik.
Selain harus melengkapi diri dengan berbagai surat dan mengikuti protokol kesehatan, penumpang juga harus datang 4 jam sebelum keberangkatan karena melalui berbagai pemeriksaan.
Setelah Lebaran, mulailah dibuka sarana transportasi. Dan Mbak Mun, Asisten Rumah Tangga yang telah 20 tahun kerja ikut saya, ngotot ingin pulang ke kampungnya di Desa Ngaliyan, Krakal, Kebumen. Meskipun sudah saya ingatkan untuk sabar menunggu beberapa waktu lagi, tapi Mbak Mun tetap nekat pulang naik travel.
BACA JUGA: http://www.kabarno.com/ke-samigaluh-setelah-20-tahun-tak-mudik-naik-mobil/
Walaupun hanya diisi empat orang tapi saya tetap khawatir terhadap kesehatan Mbak Mun sehingga saya wanti-wanti dan ingatkan untuk tetap pakai masker, cuci tangan dengan cairan disinfektan dan membawa bekal makanan sendiri. Alhamdulillah Mbak Mun telah sampai di kampungnya meskipun kemudian jatuh sakit karena kecapekan.
Tiga minggu telah berlalu, Mbak Mun tak kunjung kembali ke Jakarta. Katanya mau nunggu sampai kereta gak perlu pakai surat keterangan sehat. Waah sampai kapan itu terjadi. Apabila melihat orang yang positif Covid 19 makin bertambah, bisa bisa Mbak Mun gak balik ke Jakarta dan saya kehilangan asisten yang sigap mengurusi segalanya.
Akhirnya saya putuskan mengambil cuti untuk menjemput Mbak Mun. Kebetulan Dita dan Heru juga akan menengok rumah di Samigaluh menggunakan kendaraan sendiri, sehingga saya bisa nunut sekalian.
Perjalanan Jakarta Samigaluh ditempuh dengan lancar sekali. Rasa capek selama perjalanan segera sirna begitu disapa semilir angin dari perbukitan Menoreh. Sejuk menyambut kedatangan kami ketika sampai di rumah sunset di Kedung Gupit, Kebon Harjo. Apalagi saat malam tiba, suasana makin mempesona menyaksikan langit bertaburan bintang diselingi suara serangga yang memecah keheningan malam.
Pagi hari semakin menyenangkan, bisa menikmati jalan pagi di bawah sinar matahari sambil memandang pekarangan yang dipenuhi dengan pohon pepaya yang telah berbuah. Yaaa sebelumnya kami mencoba menanam cabai yang dibudidayakan secara organik namun kurang berhasil.
Kemudian mencoba jambu krista cukup lumayan, hanya tanamannya kurang banyak. Tampaknya tanah di Samigaluh lumayan cocok untuk pepaya organik. Tanah pekarangan Mbah Atmo, tetangga di Balong, kami tanami pepaya juga, supaya tanahnya lebih produktif dan bisa menambah penghasilan bagi simbah yang masih sangat sehat itu.
Selama beberapa hari di desa, hidup terasa lebih sehat karena bisa menikmati udara yang bersih serta melihat kebun pepaya dan sayuran organik.
Selain itu, setiap hari berkesempatan makan dari hasil kebun sendiri seperti kembang turi, kecipir, daun pepaya, bayam dan menikmati teh herbal dari bunga Telang yang berkhasiat untuk meningkatkan kekebalan tubuh. Bunga Telang yang berwarna ungu biasanya dijadikan tanaman pagar yang merambat.
Meskipun khasiatnya banyak namun masyarakat sekitar belum terpikirkan untuk membudidayakan bunga telang sebagai tanaman produktif. Jadi terpikirkan untuk memberi contoh supaya masyarakat tertarik untuk menanamnya. Semoga nanti bila ijin industri rumah tangga kebun Soka telah keluar, bisa menarik masyarakat sekitar Balong dan Kedung Gupit untuk meningkatkan potensi daerahnya.
Meski tetap bahagia, saya merasa seperti ada yang hilang selama di Samigaluh. Saya kehilangan suara gamelan, karena selama masa pandemi covid 19, latihan karawitan dan pedalangan di Sanggar Mahening Budhi juga terhenti.
Beberapa hari pulang kampung, kebahagiaan semakin besar karena bisa menikmati kuliner di sekitar Samigaluh. Kesempatan kali ini mencoba Lodeh Kluwih dan Garang Asem ayam yang pedas di Kopi Mojo sambil menikmati harumnya teh poci yang ngangeni.
Selain itu, saat berada di Yogya, saya dan Dita menyempatkan blusukan ke pasar Ngasem untuk mencicipi wedang empon empon dan apem beras yang nikmat. Wedang empon empon terasa segar karena selain berisi irisan jahe, kunir, secang, temulawak, sereh, kapulaga, dan cengkeh juga diberi irisan jeruk nipis dan perasan jeruk manis, gula batu serta ditambah dengan kolang kaling dan dawet sehingga makin mantab rasanya.
Karena selama di Samigaluh tak sempat melihat matahari terbenam yang selalu tertutup mendung, maka mas Lukas yang mengantar kami selama di Yogya, mengajak menyaksikan sunset di Bukit Senja Soka yang letaknya di atas pantai Parang Tritis. Yang terbayang tentu tempatnya sepi karena di atas bukit karang dan di antara pohon jati.
Ketika sampai ternyata sudah ada beberapa wisatawan lokal terutama anak anak muda yang sengaja menghabiskan sore hari sambil menyaksikan matahari terbenam. Suatu perpaduan yang indah melihat matahari turun perlahan di garis pantai Parang Tritis.
Selain itu ada yang lebih menarik, karena sempat main Sand Boarding di Gumuk Pasir dekat Parang Tritis. Seru juga main Prosotan dari atas gunungan pasir meskipun agak susah payah untuk mendaki sampai atas. Setelah dua kali mencoba baru bisa meluncur dengan sempurna. Namun saya tetap tidak berani meluncur dengan berdiri, cukup duduk diatas sand boarding dan didorong agar dapat meluncur ke bawah.
Rasanya, dua malam di Jogja, terlalu terburu-buru. Tapi Jakarta sudah menanti. Perjalanan kami, tidak langsung ke arah barat, tapi kali ini sengaja menuju Semarang melewati Klaten karena ingin mencoba ayam panggang.
Setelah mengikuti petunjuk dari mbah Google sampailah ke tempat ayam panggang Ny. Anggriani. Tempatnya kecil di jalan yang kecil pula, yaitu gang Beruang, hanya tersedia beberapa meja dan kursi. Rupaya orang lebih suka membeli ayam panggang untuk dibawa pulang daripada makan di tempat.
Meskipun belum waktunya makan siang, kami sengaja tak ingin melewatkan untuk menyantap ayam panggang. Bumbunya yang lezat dan gurih membuat kami ingin membawanya ke Jakarta, namun karena hanya mampu bertahan 8 jam maka kami akhirnya memesan beberapa potong ayam panggang sebagai oleh oleh buat kakak di Semarang.
Perjalanan selanjutnya cukup lancar. Begitu sampai Semarang, kami sepakat untuk menikmati mie kopyok pak Dhuwur di Jl Tanjung. Kerupuk karaknya penuh menutupi piring mie kopyok, terasa nikmat bagi saya yang rindu makanan daerah.
Malamnya saya sengaja istirahat yang cukup sambil menikmati nasi goreng pak Karmin bersama kakak di rumah.
Yaa karena kesekokan pagi perjalanan masih berlanjut ke Jakarta. Akhirnya setelah menempuh perjalanan sekitar 4 jam lebih, kami sampai di Jakarta dengan selamat.
Hari hari selanjutnya kembali menjalani aktivitas rutin, kadang kerja dari kantor kadang dari rumah sambil menikmati wedang empon empon buatan Mbak Mun dan tentu dengan memendam rindu untuk dapat kembali ke Samigaluh. Apalagi hari ini, keinginan pulang untuk merayakan Lebaran Haji tak kesampaian. Saya tahu, kerinduan yang dalam masih harus saya pendam.(*)