Malam mulai menjauh dari petang. Saya bergerak ke sisi timur kota Wates, Kulon Progo. Ke arah Tugu Pensil, Kentheng. Ini jalur sibuk, karena memang jalan nasional yang akan membawa ke pusat kota Jogja. Jadi di malam Minggu kemarin itu, ramai.
ditulis oleh hirwan founder kabarno
Serombongan besar kami beriringan, meninggalkan Hargorejo, Kokap, usai Bhaksos Sahabat Ngopi-Sedulur NKS.
Saya satu mobil dengan Mbah Yatno Alimonsa dan Pak Tomo. Keduanya tokoh perantau Kulon Progo yang cukup penting, karena menjadi motor utama Bhaksos Sahabat Ngopi-Sedulur NKS.
Ada di belakang kami, ada mobil Pak Mulyono, Wakil Bupati Kulon Progo periode 2006-2011. Di belakangnya lagi mobil Pak Mudalyono, tokoh dari atas Waduk Sermo yang sukses sebagai pengusaha ayam potong di Tangerang.
Sementara itu masih ada rombongan anak-anak muda yang memilih motoran. Mereka dipandegani Mas Rudi. Atau lengkapnya, Heri Rudi Atmoko, Wakil Bupati KPDJ. Dalam rombongan ini, ada juga konco-konco Komunitas FBKP.
Iring-iringan terlihat kolosal, bahkan sudah sejak turun dari Pedukuhan Krengseng, Hargorejo di punggung Menoreh. Mas Rudi dan satu temannya, ada di depan, coro-corone sebagai pembuka jalan. Sementara di buntut rombongan ada setidaknya lima motor sebagai penutup iring-iringan.
Saya ingin membayangkan, iring-iringan ini seperti bregodo menang perang. Lha tapi yang muncul dalam kepala saya kok malah seperti rombongan mbesan. Iring-iringan pengantin mau ijaban. Soalnya, yang segera tergambar adalah menu buka puasa yang sangat berbeda. Bukankah mengiring manten itu akan dapat suguhan menu lezat dalam prosesi kembul yang mebul-mebul?
Jadi ya begitu. Rombongan kami memang sengaja menyimpan energi lapar, untuk dipuaskan di Kopi Thiwul 87. Mbah Yatno malah sampai melupakan oleh-oleh yang sudah disiapkan oleh ibu Dukuh Krengseng. Semua seperti mlayu, memacu laju dalam gegas. Lho rak elok to….
Sudah. Tugu Nyi Ageng Serang di Proliman Wates diabaikan begitu saja. Dilewati tanpa diselfi. Terus ke timur, melewati Tugu Pensil, agak menikung ke kiri.
Kami sudah siap-siap setelah berada di depan SPBU. Ancar-ancar pertama itu. Lalu 100an meter masuk jalan ke kiri. Tapi inilah persoalannya. Kami kelewatan, tidak melihat gapura desa warna merah, padahal itulah jalan masuk menuju Kopi Thiwul 87.
Sudah agak ke depan, rombongan yang kolosal itu tadi berhenti. Agak repot karena harus putar balik, menyeberangi jalanan nasional yang ramai. Kasihan juga Pak Mulyono yang juga ikut repot.
Setelah semua kerepotan itu dilewati, kami ulang jalan dari depan SPBU, baru masuk gapura warna merah. Jalanan selebar empat depa itu, sudah langsung membawa ke Kopi Thiwul 87. Ini ada di wilayah RT 07 RW 04, Kalimenur, Sukoreno, Sentolo.
Begitu sampai, yang terlihat pertama adalah masjid. Wah ini pertanda baik, saya membatin. Lokasi tempat makan ini memang ada di sisi kiri masjid.
Masuk gerbang, yang terlihat berikutnya adalah beranda yang lega. Ruang terbuka dari bekas rumah limasan yang dipoles menjadi menarik. Halamannya juga lapang, membawa suasana pulang ke rumah yang ramah.
Sampai situ, saya melihat langit malam. Lalu menarik nafas panjang, menyerap suasana pulang ke rumah, mencari obat rindu.
Begitu lur, sedulur semua. Saya masih sengaja berdiri di halaman. Belum mau masuk. Jadi, tunggu tulisan berikutnya. Tulisan suasana pulang, menu rumah yang yakinlah, ngangeni.(*)