Kembali ke Bali, Bersesuci di Tirta Empul

oleh -481 Dilihat
oleh

Kembali ke Bali. Tapi dalam suasana yang tidak biasa. Ini bukan liburan, melainkan perjalanan ziarah. Perjalanan spiritual. Saya ingin bertemu dengan masyarakat lama yang berasal dari imigran orang-orang Jawa.

Saya memulai perjalanan langsung menanjak ke ketinggian 1.000 mdl, mengarah ke Kintamani. Ini seperti perjalanan membuka pintu komunikasi dengan alam Pulau Dewata. Yang ingin saya singgahi pertama adalah Desa Trunyan, di kaki Gunung Batur yang tidur.

Di desa inilah bermukim masyarakat Bali yang  garis leluhurnya bisa ditarik hingga jaman lampau. Mereka sering disebut Bali Mula, suku asli Bali. Para orang tua mereka di masa silam adalah pribumi Bali yang dalam catatan sejarah masuk golongan bangsa Austroniesia.

Saya membatin, hari itu, rupanya bukan hari baik untuk berziarah ke Trunyan. Lihat saja, begitu sampai di pesisir timur Danau Kintamani, hujan menyambut bersama kabut. Saya terdiam. Tapi perjalanan ini, memang harus dimulai dari Trunyan.

Apa boleh buat. Saya harus menunggu hujan. Hingga tengah hari, tak ada tanda-tanda hujan mereda. Kabut, justru turun pekat, menutup pandangan. Pak Gede yang mengantar saya, menyarankan untuk turun saja, memulai esok hari dari awal. Baik. Saya menawar sampai hujan menjadi nyaris merinai pun, saya akan masuk ke Truyan. Tapi barangkali benar, hari itu, bukan hari yang baik. Atau saya yang sekadar tidak beruntung.

Perjalanan memulai ziarah gagal dimulai dari jejak peradaban Bali Mula. Lalu secara ngawur, saya menawar. Bagaimana kalau langsung dimulai dari Bali Aga. Ini agak tidak lazim, karena perjalanan langsung ke peradaban berikutnya, tanpa menyapa yang mula-mula. Pak Gede, yang memandu kami, hanya tersenyum menanggapi usulan nyleneh itu. Toh ia berusaha mengantar ke ketinggian lain: Besakih.

Benar. Besakih atau awalnya Wesuki, Basuki, Besukian. Di Besakih inilah masyarakat Bali di luar Bali Mula, mula-mula bermukim. Mereka adalah murid-murid Resi Markandya. Konon, datang dari tanah Indi, Resi Markandya memulai perjalanan darmanya ke Pegunungan Dieng, Jawa Tengah. Lalu, menyisir Pulau Jawa dan menetap di Gunung Raung Jawa Timur. Dari sini, melakukan migrasi lagi ke sisi timur Jawa. Yang dituju adalah Gunung Tohlangkir. Membawa 800an cantrik, sang resi berusaha membangun peradaban di tanah baru. Sayang, usahanya gagal. Lalu, membawa pulang pengikutnya ke Gunung Raung.

Tidak lama di Jawa, Resi Markandya kembali ke Gunung Tonglangkir, membawa serta 400 murid, setelah mendapat petujuk agar melakukan ritual, salah satunya panca datu. Menanam lima unsur logam: emas, tembaga, perak, besi, permata mirah.

Di Besakih, tempat Sang Maharesi melakukan upacara panca datu, kini berdiri Pure Besakih yang agung. Dan, nama Gunung Tohlangkir tempat Markandya mengembangkan darma, dikenal sebagai Gunung Agung. Hingga kini, di tempat ini, banyak dihuni trah, tedak turunnya, generasi Maharesi Markandya yang oleh masyarakat luas dikenal sebagai masyarakat Bali Aga. Ke sinilah tujuan saya mememulai ziarah, setelah gagal membuka dialog alam dengan Truyan. Tapi apa yang terjadi? Saya kembali gagal.

Ya sudah. Hari itu, saya tutup perjalanan dengan hanya melakukan puja semadi di sebuah pure. Pak Gede menyerankan untuk mengulang perjalanan esok hari. Dan, saya mengikuti sarannya. Esok hari, saya kembali ke menatap Gunung Batur, dari kejauhan. Tampak cemerlang. Tapi begitu sudah sampai, tiba-tiba hujan kembali menghalangi langkah.

Melihat itu, Pak Gede yang paham soal spiritual, langsung mengajak turun. Perjalanan ziarah saya, benar-benar gagal. Entahlah. Barangkali saya harus mempertebal niat, menghaluskan hati, atau membuang kejumawaan. Pak Gede kemudian mengajak saya bersesuci. Ruwatan.

Sambil turun dari Kintamani, perjalanan diarahkan ke Tirta Empul di pintu Istana Tampaksiring. Inilah pemandian keramat yang sudah dibangun sejak Raja Sri Candrabhaya Singha Warmadewa. Setidaknya, itu yang tertulis dalam  piagam batu Desa Manukaya. Angka tahunnya, 962 Masehi. Atau tepatnya,  Sasih Kapat tahun Icaka 884.

Saya tidak melakukan tata cara melukat yang butuh beberapa hari. Saya hanya perlu malakukan tata cara bersesuci yang saya pahami di  pancuran yang tersedia.(kib)