Palgunadi ya Ekalaya menunduk di depan Resi Durno. Ia menatap ke kekosongan, setelah niat baiknya mengabdi pada tokoh sakti penasehat utama negeri Astina ditampik. Padahal, kepada pandhita Durno, hatinya diserahkan.
Maka, dengan memupus rasa, Palgunadi hanya bisa menyimpan resah batinnya di hati, sambil terus melafal nama guru impiannya, Pandhita Durna. Benar. Di hatinya hanya ada nama Durna, yang berbulan-bulan dicari tanpa pernah dijumpai. Meski tak pernah lelah, pilihannya nyaris tak ada. Sebab, Durna yang hendak dijadikan guru, seperti bayang-banyang hampa.
Tak hendak putus asa karena dianggap tak pantas menjadi bagian hidup orang penting sekelas Durna, keputusan harus diambil. Ekalaya memilih berjalan, menyisir jalan-jalan yang terjal, mengumpulkan ilalang kering. Memilin, merajut, menyulam menjadi boneka sebesar manusia. Boneka Durna yang sambil tersenyum ia sembah.
“Hidupku hanya untuk mengabdi engkau wahai bapa guru. Tidak perlu engkau hadir membelaku, bela saja Arjuna yang terkasih, tapi aku tidak akan berhenti menghormatimu.” Palggunadi mengucapkan kata-kata itu di depan boneka gurunya.
Seolah dirasuki spirit yang amat besar, ia berlatih. Dari satu anak panah ke anak panah lain dilesatkan. Terus begitu sepanjang hari, selama berbulan, bertahun, hingga ia tampil sebagai pelesat busur masyur. Ia, bahkan mampu mengalahkan Arjuna ya Palguna ya Permadi. Ksatria panengah Pandawa yang dicintai dan dibimbing langsung mahaguru Durna.
Arjuna mampu dengan mudah kalah adu panah dengan Ekalaya yang hanya berguru pada Durna secara imajiner. Dasar ksatria manja, Raden Arjuna murka, ngamuk, merajuk, meminta pertanggungjawaban Durna. “Paman Pandhita telah ingkar, mengapa ada murid yang lebih engkau kasihi, sehingga ilmunya lebih tinggi dariku.”
Begitulah. Dalam pakeliran, tak boleh ada dua orang yang pandai memanah selain Arjuna. Palgunadi harus dilenyapkan, setidaknya kemampuan memanahnya, sehingga hanya Janaka yang sah sebagai sang pemanah.
Dengan kemarahan tertahan, akhirnya Ekalaya ya Palgunadi, mengalah dan menyerahkan hidup pada gurunya: rela kelingkingnya dipotong sehingga kemampuannya memanah lenyap. Lalu, demi perintah gurunya, ia menyingkir, meninggalkan orbit para bangsawan, menyepi, mengasingkan diri.
Kisah resah Palgunadi, saya tuliskan kembali untuk memotret anak-anak muda yang protes pada keadaan dengan cara kreatif. Seperti Palgunadi ya Bambang Ekalaya, mereka memilih mencari cara sendiri untuk tidak kalah. Dan, nyatanya, mereka menang karena mampu menciptakan dunianya sendiri.
Saya membayangkan, ada orang-orang baik hati yang berani tampil hanya mengandalkan kekuatan rakyat. Seperti Palgunadi yang ditolak Durna tapi mampu menjadi sakti oleh kekuatannya sendiri. Tidak sembarang orang mampu mendapat anugerah menjadi teladan seperti itu, jika tidak memiliki ketulusan dan niat tanpa kepentingan. (*)