Bersama tatapan saya yang turun dari pucuk daun munggur, tiga orang tampak meninggalkan cungkup. Hastono Adipuro, yang selalu sigap mengantar tetamunya, mengajak untuk masuk cungkup.
“Kita sowan yang sepuh dulu. Yang tua dulu,” katanya, meninggalkan tikar pandan, alas kami mengelesot di depan ruang kerjanya.
Yang dimaksud sowan yang tua lebih dulu, adalah bertemu Ki Ageng Tarub, yang cungkupnya peris di depan kami lesehan. Sementara yang disebut yang muda, ialah Raden Bondan Kejawen, yang rumah pusaranya ada di sebelah selatan, di samping mushola.
Saya masuk cungkup dengan hati berdebaran. Tidak tahu, mengapa tiba-tiba saja, ada desir yang asing di hati. Mungkin karena ruangan berukuran kurang lebih 5×5 meter itu, tanpa penerang. Atau pemandangan yang seketika menyorong masuk lorong mistik, melihat kelambu yang menauingi nisan, di keremangan ruangan.
Nisan itu, berada di tengah ruangan, di tempatkan dalam undakan setengah dengkul. Pagar besi melingkari, sementara di depannya, pagar stenlistil warna keperakan menjadi batas buat peziarah agar tidak mendekat ke pusara.
Masih ada dua orang yang menderaskan dzikir, di luar pagar makam, saat saya masuk. Ki jurukunci, membukakan pintu pagar stenlestil, yang membuat saya agak kurang enak dengan peziarah terdahulu, yang tak bisa masuk ke dalam pagar besi itu
Dengan hati yang masih berdesiran, ditambah rasa rikuh dan tidak enak, saya membungkuk mendekati kepala nisan yang berselimut kain kafan. Dalam sebuah detik, saya seperti tersedot oleh pusaran arus air yang membuat nafas sulit menghirup udara. Tapi tidak lama, barangkali efek kaget, tiba-tiba ada suara keras dari arah depan. Rupanya seorang tukang menjatuhkan palu (entah sengaja atau tidak), yang membuat jantung nyaris berhenti.
Semula saya menganggap itu peristiwa biasa, karena cungkup memang sedang direnovasi. Tapi perasaan saya justru semakin tidak nyaman. Hati yang semula hanya didera desiran ringan, menjadi getar yang menghebat. Saya berusaha mengumpulkan kekuatan, untuk berkonsentrasi. Memohon perkenan Ki Ageng Tarub, menerima kedatangan saya, menyambung tali batin.
Tapi gagal. Saya coba lagi. Gagal lagi. Sampai dua kali diulang, usaha itu selalu mentok. Barangkali memang, saatnya tidak pas. Akhirnya, saya hanya mengirimkan doa-doa, kemudian berdzikir, dan selesai. Sengaja, saya tidak ingin mengusik leluhur para pembesar masa silam itu, dengan memintanya menemui saya.
Sebelum meninggalkan cungkup yang gelap, saya mengelus kepala nisan yang dibebat kafan. Lirih saya mengucap salam, mohon diri, serta memohon maaf atas segala ketidakberkenannya menerima sowan saya. Selesai. Saya beranjak dengan langkah yang membungkuk. Tapi sebelum mencapai pintu pagar yang berwarna keperakan, angin tipis menyentuh wajah, membawa aroma mawar. Saya berhenti di luar pagar, memandangi pusara Ki Ageng Tarub, dengan membatin terimakasih telah membekali langkah dengan wangi mawar.(bersambung)