Kopi Thiwul  87, Rasa Rindu & Teriakan 2024…

oleh -162 Dilihat
oleh

Malam bergerak. Langit hanya sedetik dipulas tipis warna hitam. Tapi mendung tak jadi menggantung. Hilang, setelah bebunyian yang seperti sangat akrab melekat, mulai dimainkan, di ruang utama rumah amat lega di JL Wates KM 21, Kalimenur, Sukoreno, Sentolo, Kulon Progo. Sudah sejak dua tahun lalu, rumah milik tokoh Kulon Progo itu, memang disulap menjadi tempat ngumpul yang diberi nama Kopi Thiwul 87.

Oleh: Hirwan
Founder Kabarno.com

Jadilah malam itu, 02 Juli 2022, menjadi malam Minggu yang tidak biasa. Ada keriuhan sejak selepas Magrib, saat tetamu sudah mulai datang. Management Kopi Thiwul 87 memang sedang punya hajat. Cafe & resto dengan menu ndeso ini, mengundang pelanggan menikmati malam panjang sambil mengurai masa lalu, lewat koesplusan.

 

Lagu-lagu pembukaan mulai mengiringi para tamu yang sebagian besar alumni SMA Negeri 1 Wates dan lulusan 84 SMPN 2 Wates menikmati menu ndeso khas Kopi Thiwul 87. Setelah dijeda adzan isya’ di masjid depan cafe, suasana semakin ‘meresahkan’. Satu-satu, bapak-bapak dan ibu-ibu yang usianya sudah melewati setengah abad itu, memang mulai resah. Bukan karena kenyang, atau kelewat asyik bernostalgia. Tapi resah ingin ikut naik panggung.

Dan, semua keresahan itu dituntaskan, usai Pak Sumarjono berpidato. Pidato yang seperti biasanya. Pidato piyayi Nganjir, Hargorejo, Kokap yang selalu lucu. Siapa saja diroasting. Nyemesi (bahasa gaulnya meroasting) kolega, adalah menjadi salah satu kelebihan pak Jono yang juga dikenal sebagai NKS, inisial yang merujuk buku biografinya berjudul Nami Kulo Sumarjono.

Benar. Panggung mulai ‘dijajah’ para undangan. Vokalis Jackplus seperti paham untuk memberikan panggung dan mikropun, kepada mereka yang ingin mengekspresikan suara hatinya, mengulang kembali suasana tahun 87an, saat masih sekolah di pusat kota Wates.

Segala yang lucu-lucu, mulai bermunculan. Secara perlahan, seluruh undangan kembali menjadi anak-anak muda Kulon Progo yang hiruk-pikuk. Tidak ada lagi jaim-jaiman. Tidak ada lagi ewuh-pekewuh. Tidak juga sungkan-sungkanan meski sebagian besar alumni sudah menjadi orang penting. Polah-tingkah, dan semua karakter penuh kelakar terus berlesatan, sesuai aslinya. Waktu benar-benar seperti diputar ulang, ke suasana 35 tahun silam.

Kopi Thiwul 87 sudah “tidak karuan’. Guyonan mulai dari yang paling sarkas, satir, hingga yang receh terus mengalir. Dari sekadar tepuk-tangan ringan, hingga membawakan pot bunga ukuran besar untuk ibu-ibu yang sedang berdendang di panggung, terjadi.

Setelah itu, seluruh energi reuni dikumpulkan di ruang tengah, di depan panggung Jackplus. Di sana, semua berjoget. Tidak peduli lagunya sedang mendayu atau riang gembira, pokoke njoged. Dan, jangan dibayangkan, menjogednya bagus-bagus, tapi tetap ‘berantakan’ lebih banyak joged ndangdutan yang khas kaum tiktoker.

Beruntung, malam itu yang manggung Jackplus dengan lagu-lagu legendaris Koes Bersaudara, yang tetap enak dijogeti. Apalagi, alumni 87 SMA Negeri 1 Wates, adalah generasi yang ikut dibesarkan oleh lagu-lagu Koesplus yang merajai industri musik sejak era 70an.

Tapi kegembiraan harus berhenti. Sudah menjelang tengah malam. Semua harus kembali lagi menghadapi kenyataan bahwa masa SMA sudah jauh terlewati, terhimpiti, terlipat di selipan-selipan kenangan lalu. Jackplus juga harus membersihkan panggung, menggulung kabel, membungkus kembali semua perkakas musiknya. Tapi gairah menumpah rasa rindu, masih belum ingin disudahi.

Tamu-tamu yang baru saja menuntaskan lagu Kemesraan (lagu wajib di semua ajang reuni, meski malam itu menjadi agak menyempal karena pengiringnya adalah spesialis Koesplus), masih berkerumun. Sebagian melingkari meja-meja di sebelah kanan panggung. Beberapa orang memang mulai bersiap meninggalkan Kopi Thiwul 87, tapi lagi-lagi seperti ada keengganan. Mereka seolah masih digondeli kerinduan yang belum benar-benar cabar.

Tiba-tiba, di tengah para kru panggung membereskan sisa pertunjukan, Pak Jono dan Pak Triyanto, digandeng ke pinggir ruang utama. Di depan tiang dengan tirai batik ecoprint karya Mbak Heni, dua tokoh Kulon Progo itu difoto. Bukan foto biasa, tapi foto yang mirip-mirip foto untuk kampanye.

Benar. Setelah sesi foto pertama yang hanya pamer senyum, pada sesi kedua, kedua tangan Pak Tri dan Pak Jono, menyatu, mengepal, membentuk salam komando. Melihat itu, dari kejauhan mulai terdengar teriakan, “untuk 2024.”

Mendengar teriakan itu, Pak Jono hanya tertawa-tawa. Sementara Pak Tri yang lebih anteng, juga hanya senyum-senyum.”Buat lucu-lucuan, hanya karena baju saya dan pak tri mirip. Kotak-kotak kecil,” kata Pak Jono yang secara becanda memang sering didorong-dorong untuk maju Pilbup Kulon Progo 2024.

Tapi itulah yang terjadi. Kelakar alumni 87 SMA Negeri 1 Wates terlihat sangat hangat, sepanjang lima jam, sejak selepas Magrib, dijeda Isha’, hingga menjelang jam 12 malam.(*)