“Lho ini soal aktualisasi diri, “ begitu kata Ki Amat ketika sudah duduk di depan meja Ki Bawang membuka percakapan. Seperti sudah suatu keharusan setiap hari harus menumpahkan isi hati kepada Ki Bawang. Soalnya ki Bawang lah teman satu satunya yang mau mendengarkan setiap ungkapan isi hati Ki Amat yang selalu saja ada dan muncul di hatinya.
“Menjadi manusia itu ibarat sebuah mata uang,” kata Ki Amat. “Mata uang akan berharga bila kedua belah sisinya itu ada gambarnya, ada tulisannya ada maknanya. Seindah apa gambar dan hiasan mata uang, namun bila hanya ada satu sisi saja maka tidak akan laku untuk jual beli. Akan menjadi tidak berharga.”
“Haiyo…” jawab Ki Bawang
“Lha kalau sudah sepakat soal hal ini, maka akan saya teruskan cerianya,” lanjut Ki Amat.
“Menjadi manusia harus menggambar kehidupannya dari dua sisi. Pertama dari sisi mencari kehidupan duniawai seperti bekerja, beramal, bertani, berusaha mendapat uang. Namun di sisi lain kita harus mengerjakan hal-hal yang secara ekonomi tidak ada nilainya, tetapi secara batiniah ada rasa dak maknanya. Kegiatan itu seperti gotong royong, ibadah atau mengisi kegiatan yang ditinggalkan orang lain. Misalnya coba kita suka rela menyapu jalan umum itu? Berani tidak, Ki?” tanya mbah Amat kepada Ki Bawang.
“Wah lha nek nyapu jalan, tidak ada yang bayar yo gak mau to, mbah,” jawab Ki Bawang
“Lha itulah tadi, soal aktualisasi diri, mungkin yang harus kita lakukan adalah sukarela menyapu jalan kampung kita berputar-putar, soalnya jalan kampung kita tidak ada petugas yang nyapu. Lha kalau kita lakukan sendiri tanpa perintah dan tanpa gaji, kan itu bisa menjadi wujud dari aktualisasi diri kita.”
“Wah soal ini aku tidak sepakat,” jawab Ki Bawang. “Lha kalau terus nyaponi jalan kampung sambil senyam-senyum itu nanti kita diarani wong edan…”
“ Lho… diarani wong edan yo gak apa-apa to, tapi kan hasilnya jalan kampung kita jadi bersih…”
Sementara Ki Amat diam, namun matanya masih melirik isi meja Ki Bawang. Ada teko, teh panas gula batu, ada makanan “nyamikan” peyek, ada kripik pisang, gedang goreng . Hidangan di depan meja Ki Bawang membuat mbah Amat melupakan ide-idenya. Diambilnya cangkir, kemudian diisi gula batu dan dituangi teh panas dari teko, serta mengambil nyamikan pisang goreng,
“Wah cocok ini,” gumam Ki Amat
Ki Bawang hanya mengamati tingkah laku sahabatnya yang mulai beraksi melahab isi mejanya. Tidak berani mengingatkan idenya. Sebab kalau diingatkan idenya, bisa “ndodro” ngelantur.
Dan dibiarkanya Ki Amat melupakan idenya. “Nanti ral lupa sendiri,” pikir Ki Bawang.(stmj)