Mengenal Sukamta-2: Pernah Diminta Pindah di Jakarta

oleh -1236 Dilihat
oleh

Sudah. Drama perjalanannya yang serba pertama, selesai. Sukamta sampai di tanah baru, tanah yang diyakini akan menjadi masa depanya: Banjarbaru, Kalimantan Selatan.

Sebagai cah Kulon Progo, ia tak pernah membayangkan, sejarah hidupnya akan menikung sangat tajam, hingga berada di Kalimantan Selatan.

Perjalanan baru dimulai dengan ikut selesaksi APDN Banjarbaru. Tidak mudah. Sebab, persaingannya juga keras. Ia harus berebut kursi dengan 225 orang. Padahal jatah kursi yang tersedia hanya untuk 50 orang saja.

Tapi semua berhasil dilewati. Tes fisik, tak kesulitan, karena sebagai wong nggunung, tak pernah ada masalah dengan kebugaran tubuh. Wawancara juga lolos. Jadi semua bisa dilalui dengan baik.

Saat itu, Sukamta dan mereka yang lolos seleksi, menjadi mahasiswa APDN angkatan 17. Delapan angkatan kemudian, atau angkatan ke-25 akademi ini, ditutup.

Fase hidup berikutnya dimasuki dengan menjadi pegawai negeri. Sebagai lulusan APDN, Sukamta juga berhak menyandar gelar BA atau sarjana muda. Lalu, penugasan pertamanya, Staf Bagian Kepegawaian di Kabupaten Tanah Laut.

Setapak demi setapak, karirnya dibangun. Sukamta benar-benar memulainya dari anak tangga paling bawah sebagai pembuat amplop surat. Setelah itu, menjadi pengantar surat.

Karir yang membaik, membawa Sukamta ditunjuk menjadi ajudan bupati. Saat itu, Bupati Tanah Laut dijabat oleh Kamarudin Dimeng (1983-1988). Sepanjang satu tahun, Kamta mendampingi bupati, sekaligus belajar banyak hal.

Berikutnya, Sukamta beralih tugas. Kali ini dipercaya sebagai Kepala Kantor Perwakilan Kecamatan Bumi Makmur. Sebelum dimekarkan lewat Perda Nomor 3 tahun 2008, Bumi Makmur masih bagian dari Kecamatan Kurau.

Tidak lama di Bumi Makmur, Sukamta mendapat tugas belajar. Ia memperoleh kesempatan melanjutkan kuliah ke Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) Jakarta. Rupanya, ini buah dari prestasinya yang ternyata dipantau sejak masih menjadi mahasiswa APDN Banjarbaru.

Bulan Agustus 1988, Sukamta yang di APDN lulus dengan ranking bagus, berangkat ke Jakarta. Baginya, bisa berangkat ke Jakarta, bukan hanya prestasi, tapi sekaligus keberuntungan. Sebab, perintah bersekolah lagi, sudah turun setahun sebelumnya. Kamta terlambat menerima surat tugas itu, karena saking jauhnya Bumi Makmur dari pusat pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan.

Tiga tahun kuliah di IIP, Sukamta terjebak dalam dilema. Ia harus memilih: kembali ke Kalimantan Selatan, atau  menerima tawaran menetap di Jakarta, ikut menjadi bagian dari APDN Nasional yang dibangun pemerintah pada 1989.

Dilema besar yang akan menentukan jalan hidupnya itu, terjadi pada tahun 1991. Ryaas Rasyid, yang memintanya bertahan di Jakarta. Tapi tidak. Sukamta, sudah sejak dari Kulon Progo, belajar tidak melupakan asal-usulnya. Hidup, baginya, tan kena kacang ninggalake lanjaran.

Prinsipnya jelas. Ia bisa kembali meneruskan kuliah hingga Jakarta, karena mendapat tugas dari pemerintah Kalimantan Selatan, sehingga ia harus kembali ke provinsi itu.

Pulang ke Kalimantan Selatan, Sukamta kembali berhadapan dengan dilema. Sebab, Pemprov ingin menempatkannya di Diklat Provinsi. Lagi-lagi, pria kelahiran 30 Juli 1963 ini, memilih kembali ke Tanah Laut.(bersambung)