Mengenang Laksamana Pertama Ahmad Samsulhadi

oleh -398 Dilihat
oleh

Panggilannya Didik Ashadi.  Atau, orang-orang di sekitarnya memanggil nama depannya saja, Didik. Nama Ashadi, barangkali diambil dari nama lengkapnya,  Ahmad Samsulhadi.

Oleh: Hirwan
Founder Kabarno.com

Di Dusun Jombokan, Kalurahan Tawangsari, Kapanewon Pengasih, Kulon Progo, Mas Didik adalah panutan. Saya terakhir berkomunikasi, saat menulis buku Menoreh Kiprah, biografi tokoh-tokoh Kulon Progo.

Tulisan ini, adalah bagian terpenting dari buku tersebut. Karena buku ini penting, sekaligus kado ulangtahun Kulon Progo ke-70, meski  teritnya tertunda hingga satu tahun kemudian.

 

“Saya kaget loh, dan  gak pernah menyangka kalau Mas Dwi sedo terlalu cepat,” katanya saat pertama saya telepon. Kalimat itu, adalah komentar atas meninggalnya Kang Dwi, kakak saya yang berpulang begitu cepat.

Kang Dwi dan Pak Didik berteman akrab, karena jarak usianya tidak jauh. Dua-duanya tipe orang alim. Bedanya, Mas Didik memiliki pembawaan alim  bahkan sudah menjadi ciri-wanci sejak masih muda.

Laksamana Pertama Ahmad Samsulhadi, memang berasal dari keluarga besar, yang dikenal alim, soleh, dan dekat dengan masjid dalam arti sesungguhnya. Kediaman orangtua pria kelahiran 8 Juli 1965 ini, juga hanya selemparan batu dengan masjid tua dusun Jombokan.

Jika dilacak hingga ke masa yang sangat lampau, leluhur Didik yang lulusan SMAN 1 Wates, dapat terlihat jejak kealimannya. Sebab, semua orang-orang alim yang dekat dengan agama. Beberapa malah, dikenal sebagai kiai-kiai terkemuka.

Entah oleh sebab tradisi lama di masa lampau, atau karena agar tidak salah pilih jodoh,  orangtua Didik adalah dua orang saudara yang tidak terlalu jauh. Mereka adalah dua anak muda satu simbah, jadi masih satu garis darah.

Bapak dan ibu Didik yang lulusan SMPN Sogan ini, adalah cucu Mbah Kiai Abdullah Qorib. Tapi keduanya lahir dari ibu yang berbeda. Jadi, Kiai Qorib memiliki dua istri yang kemudian menurunkan orangtua Didik Ashadi.

Dari istri tua, Mbah Aminah, lahir Mbah Muh Idris, kemudian menurunkan Pak Zam. Sedangkan istri muda  Kiai Qorib  yang bernama Mbah Hadiyah, yang tak lain  adalah keponakan istri tua Kiai Qorib,  menurunkan Mbah Mbah Muh Johari.  Dari Mbah Muh Johari ini, selanjutnya lahir Mbah Aslamiyah.

Sementara itu, dari garis ibu, ada alur yang lebih tua, bahkan hingga ke Gunungjati Cirebon. Didik Ashadi juga baru mendapatkan cerita ini, setahun belakanga n dari seorang gurunya. Kisah menarik itu, kemudian dicocokkan dengan data dari berbagai sumber serta cerita tutur para simbah yang masih sugeng. Dan, memang nyambung.

“Jadi ibu itu, punya ibu asmane mbah Hadiah. Punya orangtua namanya Kiai Imam Anis.  Konon, Kiai Imam Anis itu,  bukan orang  Mataram, melainkan ulama dari Gunungjati Cirebon.  Beberapa sumber menyampaikan hal itu, kemudian dikroscek ke poro sespuh, ada sempalan cerita seperti itu,” kata alumni Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip) Semarang itu.

***

Barangkali, karena memiliki trah pemuka agama, jalan hidup Didik Ashadi, seperti  lempeng, lurus, mudah, dan berkah. Selepas SMA Negeri 1 Wates, Mas Didik masuk ke Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip ) Semarang.

Masuk FK Undip, sejatinya juga, bukan sepenuhnya cita-cita, melainkan begitu saja terjadi.  Menjadi dokter, baginya, seperti doa yang dikabulkan. Didik ingat, saat masih sekolah di Terbah, selalu dipanggil  dengan sebutan dokter Didi. Sementara itu, ia memanggil teman karibnya, Insinyur Harjono.

 

 

Cerita unik ini, terjadi sepanjang Didik dan Harjono berkawan dekat selama di SMAN 1 Wates di Terbah. Mereka, sama-sama kos di rumah Mbah Semi. Atau lengkapnya, Semidrono. Sebutan dokter Didik dan Insinyur Harjono, dimulai saat mereka kelas dua SMA, terus berlanjut hingga lulus.

Saat masih kelas dua SMA itu, Didik membuat jadwal pelajaran, dengan menuliskan nama sahabatnya itu. Insinyur Harjono. Sebaliknya, sang karib, juga membuatkan jadwal dengan nama dokter Didik Samsulhadi.

La ndilalah, kok sebutan yang sekadar spirit belajar itu, menjadi kenyataan. Mungkin, karena memang sudah jadi kersaning gusti Allah, dari semula hanya untuk lucu-lucuan, akhirnya malah menjadi kenyataan.

Harjono benar-benar jadi insinyur, krena masuk Teknik Sipil Universitas Gajahmada tahun 1984. Didik Ashadi, masuk kedokteran Undip 1985.

***

Kuliah di Fakultas Kedokteran Undip,  memang merupakan doa yang dikhabulkan. Didik tidak pernah membayangkan, sematan nama dokter Didik saat masih kelas dua SMA itu, akan menjadi kenyataan.  Paling tidak, dalam empat atau lima tahun kuliah, ia akan resmi menyandar gelar dokter.

Tapi rupanya, jalan menikung, harus dilewati. Penggemar lagu-lagu campursari ini, justru tidak sengaja, masuk tentara. Itu, terjadi sebelum kuliahnya di kedokteran, benar-benar selesai, karena masih ada dua matakuliah yang belum selesai.

 

Cerita itu, dimulai saat tahun 1989. Saat itu, usai semesteran. Didik tinggal mengejar dua program besar belum dijalani. Program Komuda dan Ko Ass (junior Clerkship dan Senior Clerkship). Lalu, sebuah kejadian yang serba kebetulan datang. Ketika itu, seorang kawan, atau tepatnya kakak angkatan, menghampiri. Namanya Mas Puji. Ia minta diantar ke sebuah tempat.

Mas Puji terpaksa minta diantar, karena ban sepeda motornya bocor. Namanya sahabat satu kampus dan satu fakultas, meski beda angkatan, Didik siap sedia mengantar kawan karibnya itu. Sudah. Setelah sampai tujuan, Didik baru tahu, Mas Puji ingin masuk Sekolah Perwira Militer Sukarela (Sepamilsuk).

Sebaai mahasiswa kedokteran, Didik tidak paham tentang Sepamilsuk. Jadi agak-agak heran, melihat sahabatnya itu, ingin mendaftar sekolah perwira. Tapi keheranan itu, disimpan rapat di dasar hatinya. Toh, tugasnya sudah selesai: mengantar sampai tujuan.

Tapi cerita tiba-tiba saja menjadi berubah. Saat Mas Puji mendaftar, ada petugas dari Korem, bertanya-tanya.  Ajendam itu bertanya dengan setengah memaksa, “Kowe ora ndaftar kenapa?” Dasarnya hanya mengantar teman, Didik menjawab sekenannya saja,”Dereng minat.”

Jawaban Didik yang sekedananya itu, justru membuat tersudut. “Wes kudu minat yo. Ndi kartu mahasiswamu. Terus ditulis.” Bagai tidak sadar, Didik begitu saja menuruti perintah itu. Padahal ia sama sekali tidak bawa apa-apa. Jangankan surat-surat syarat pendaftaran, persiapan niat pun tidak ada.

“Iki kowe oleh nomor, ndang mulih ndeso. Ndang ngurus surat-surat kelengkapan pendaftaran,” kata Ajendam yang seperti bukan orang lumrah, karena setiap kata-katanya, didengarkan Didik tak ubahnya sihir yang dituruti.

Tapi memang, karena tidak memiliki persiapan minat masuk sekolah perwira, Didik serba glagepan. Ia tidak tahu apa-apa, tapi namanya sudah telanjur didaftarkan. Kemudian, ia betanya pada Mas Puji dokumen yang harus disiapkan.  Didik semakin glagepan. Sebab, syarat-syarat yang ditunjukan sahabatnya itu, banyak banget.

Nah, cerita berikutnya, tak kalah elok. Jadi, saat itu, Didik yang tidak punya sangu banyak dari Kulon Progo, sedang tidak punya uang. Jangkan untuk pulang ke desanya, sedang makan pun diirit-irit. Tapi ndilalah, kok ada yang memberi uang.  Dia adalah dosen, yang memang senang bagi-bagi uang untuk mahasiswa yang terlihat memelas.

Disangoni dosen yang baik hati, Didik pulang ke Jombokan untuk ngurus surat-surat. Selesai dalam lima  hari, kemudian kembali ke Sememarang. Surat-surat itu, langsung diserahkan ke panitia di Ajendam IV Diponegoro yang saat itu ada di Lawang Sewu.

Sejak itu, secara perlahan, harapan muncul. Harapan bisa diterima masuk sekolah perwira.  Jadi, Didik mengikuti serangkaian tes yang panjang dengan semangat baru. Setelah melewati banyak tes  dan lolos terus, tiba saatnya masuk Pantukhir.

Tesnya di Jogja. Tepatnya di Balai Pamungkas, di sebelah timur stadiun Kridosono. Dan, lagi-lagi, Didik lulus. Resmilah, ia masuk pendidikan sekolah perwira  sukarela dan dikirim ke surabaya. Tapi yang memprihatinkan sekaligus membuat dirinya tidak enak, justru Mas Puji yang paling menginginkan masuk sekolah perwira tersebut, malah tidak lulus. “Ngoten niku critane,” tegas Laksma Didik.

Alhamdullah. Tidak pernah dinyana, jalan hidup calon dokter, berbelok menjadi perwira militer. Didik tidak paham benar yang dirasakan, saat resmi perwira Angkatan Laut. Ia hanya merasa perlu bersyukur.

Saat itu,  status kuliahnya di FK Undip masih aktif, hanya cuti. Cuti untuk mengikut pendidikan militer.  Jadi setelah selesai pendidikan militer, kemudian Didik dilantik jadi Letnan Dua bersama lulusan dari Angkatan Laut, Darat, Udara,dan Kepolisian.

Dan, dengan pangkat Letnan Dua itulah, ia kembali lagi ke kampuns. Merampungkan kuliahnya, hingga menyandar gelar dokter.  Dokter Didik.

Selasa petang, saat sedang berada di jalan, seorang tokoh Kulon Progo mengabarkan wafatnya mas Didik. Saya, harus menepi, memastikan kabar tersebut, sambil meredakan rasa deg-degan karena kaget campur sedih. Baru hari Minggu kemarin, saya pulang kampung di Dusun Jombokan, keliling-keliling kampung, termasuk lewat depan rumah tabon keluarga Pak Zam. Menjelang saya kembali ke perantauan, saya masih sempat ziarah ke pusara ibuk-bapak, dan memandangi pusara tua leluhur Mas Didik di sisi paling utara Komplek Pemakaman Keramat Kiai Pakujati.

(diambil dari buku berjudul Menoreh Kiprah)

PENDIDIKAN:

  1. SDN Janturan dan SDN Kedundang
  2. SMPN Sogan
  3. SMAN 1 Wates

PENUGASAN

  1. 2003-2004: Kepala RS AAL
  2. 2005: Sekolah Staf dan Komando (SESKO AL)
  3. 2006-2007: Kepala Satuan Kesehatan Kodiklatal
  4. 2008: Senior National Military Staff di Conggo
  5. 2009: Kepala Dinas Kesehatan Lantamal II Padang
  6. 2010-2013: Kepala Satuan Kesehatan Mabesal
  7. 2013-2014: Kepala Sub Dinas Pelayanan Kesehatan Diskesal
  8. 2013-2014: Staf Pribadi KASAL
  9. 2014-2017: Kepala RSAL dr Midiyato, Tanjung Pinang
  10. 2018: Kepala Lembaga Kesehatan Angkatan Laut (LAKESLA)
  11. 2019: Kepala RSPAL dr Ramelan Surabaya
  12. 2020: Kepala Dinas Kesehatan TNI AL
  13. 2021: Staf Ahli Kasal Bisang IPTEK