Menurunnya Kualitas Ketertiban Umum Mencerminkan Kelemahan Negara Melindungi Warganya

oleh -19 Dilihat

Oleh : DR Bambang Soesatyo

PEMBUNUHAN, perampokan, dan ragam tindak pidana yang marak akhir-akhir ini, mempertegas fakta tentang terus menurunnya kualitas ketertiban umum. Patut untuk disadari bahwa ketertiban umum yang buruk mencerminkan kelemahan negara melindungi warga negara. Mewujudkan ketertiban umum yang kondusif hanya bisa dimulai dengan revitalisasi kekuatan negara dan pemulihan wibawa Institusi penegak hukum.

Sebagaimana telah disimak bersama, hari-hari pertama tahun 2025 sarat dengan berita dan informasi yang memberi gambaran tentang semakin memburuknya ketertiban umum akibatnya maraknya tindak pidana. Dari berita dan informasi tentang tindak pidana berat seperti pembunuhan dan perampokan, hingga pidana ringan seperti kelompok preman yang memberlakukan pembebanan tarif atau pungutan liar di sejumlah lokasi wisata. Keluhan banyak komunitas tentang memburuknya ketertiban umum itu sudah begitu sering dipublikasikan.

Ketika masih menikmati suasana tahun baru, masyarakat sudah dikejutkan oleh dua peristiwa penembakan mematikan dengan dua korban jiwa. Dua peristiwa pembunuhan itu terjadi di Tangerang dan di Kabupaten Bone, Sulawesi selatan. Korbannya pengacara dan pengusaha rental mobil. Di kota Batu, Polisi mengungkap sindikat perdagangan bayi.

Jelang akhir tahun 2024, masyarakat juga dibuat tercengang oleh terungkapnya kasus pencetakan uang palsu di Universitas Islam Negeri Alaudin (UIN) Makassar. Di Jakarta Utara, di tengah kemacetan pada ruas jalan bebas hambatan di Tanjung Priok, kawanan perampok beraksi mengancam dan merampas dompet serta melukai warga di dalam kendaraan pribadi.

Di sejumlah lokasi wisata, wisatawan lokal menjadi sasaran pelaku pemerasan. Banyak wisatawan mengeluh karena mendadak ‘diwajibkan’ membayar tarif tidak resmi yang nilai mencapai ratusan ribu. Wisatawan juga dipaksa membayar tarif parkir yang besarannya sampai puluhan ribu rupiah. Praktik ilegal ini sudah lama menjadi keluhan banyak komunitas.

Wisatawan Mengalami Pelecehan 

Di Bandung, seorang wisatawan asal Singapura mengalami pelecehan. Di Bali. wisatawan asal Tiongkok menjadi korban pemerkosaan oleh seorang tukang ojek. Pada pertengahan Desember 2024, terjadi kasus pemerasan oleh oknum penegak hukum terhadap warga negara Malaysia yang menjadi penonton Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024 di JIExpo, Kemayoran, Jakarta. Sekitar 400 penonton mengaku menjadi korban pemerasan oleh polisi dengan nominal mencapai RM 9 juta atau sekitar Rp 32 miliar.

Memburuknya aspek ketertiban umum di dalam negeri tidak hanya dikeluhkan masyarakat di berbagai daerah, tetapi juga menjadi sorotan pihak asing karena warga negara mereka yang berstatus wisatawan asing justru menjadi korban dari perilaku brutal pelaku tindak pidana di beberapa kota. Masyarakat Tiongkok, Singapura dan juga Malaysia tentu saja menyimak kasus-kasus dimaksud karena para korban mem-viral-kan perlakuan brutal yang mereka alami.

Sudah sedemikian lemahkah negara ini sehingga tidak mampu mewujudkan ketertiban umum yang kondusif bagi setiap orang? Padahal negara memiliki sejumlah institusi dan instrumen dengan tugas pokok dan fungsinya (Tupoksi) merawat ketertiban umum serta menegakan hukum. Tupoksi institusi-institusi itu bahkan didukung dan dilindungi oleh undang-undang (UU), plus sejumlah peraturan pemerintah dari tingkat pusat hingga daerah.

Semua pelaku tindak pidana berat maupun pidana ringan yang merefleksikan buruknya aspek ketertiban umum itu memang patut mendapatkan sanksi hukum. Namun, dalam konteks mewujudkan ketertiban umum yang kondusif, penindakan terhadap pelaku pidana berat maupun pidana ringan haruslah dipahami sebagai pendekatan instan yang belum tentu segera mengubah keadaan. Penindakan terhadap pelaku tindak pidana sudah menjadi bagian tak terpisah dari peradaban.

Ruang publik di mana pun tidak akan pernah bersih dari pelaku tindak pidana. Namun, agar ketertiban umum di ruang publik selalu terjaga dan kondusif, menjadi kewajiban negara untuk mencegah dan meminimalisir peluang dan potensi bagi siapa saja melakukan tindak pidana.

Mewujudkan Ketertiban yang Kondusif

Mewujudkan ketertiban umum yang kondusif sejatinya adalah kehendak bersama. Untuk itu, menjadi kewajiban bersama pula untuk mematuhi hukum, peraturan perundang-undangan, serta norma-norma sosial yang dianut masyarakat. Agar semua elemen masyarakat taat hukum serta peraturan perundang-undangan, institusi penegak hukum haruslah tampil dengan penuh kewibawaan dan citra yang selalu positif dalam mengemban Tupoksi-nya.

Sebaliknya, jika dalam persepsi publik institusi penegak hukum tidak lagi berwibawa karena tergerus oleh aneka perilaku tak terpuji yang dilakukan oleh banyak oknumnya, konsekuensinya adalah kualitas ketertiban umum yang akan terus memburuk. Ketika institusi penegak hukum dinilai sudah tidak bersih lagi dari noda etika dan moral, mereka yang selalu berkecenderungan melakukan tindak pidana akan berasumsi bahwa kalau oknum penegak hukum ‘boleh’ dan ‘bisa’ menggunakan kewengannya untuk melanggar hukum, mengapa kami tidak?

Maraknya tindak pidana berat maupun pidana ringan yang merusak ketertiban umum akhir-akhir ini sedikit banyak disebabkan oleh merosotnya wibawa institusi penegak hukum. Tak hanya wibawa yang merosot melainkan institusi penegak hukum pun terkesan sudah sedemikian lemah, sehingga semakin banyak kelompok di dalam masyarakat semakin berani untuk melakukan pelanggaran hukum yang sudah pasti merugikan banyak orang.

Kalau kecenderungan ini terus dibiarkan, institusi penegak hukum akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Tentang kepercayaan masyarakat kepada institusi penegak hukum akhir-akhir ini rasanya tidak perlu dibahas lagi. Terpenting, semua institusi penegak hukum mau melakukan introspeksi.

Mewujudkan ketertiban umum yang kondusif selalu butuh institusi penegak hukum yang kuat dalam melaksanakan Tupoksi-nya mencegah dan meminimalisir peluang serta potensi tindak pidana. Revitalisasi kekuatan melaksanakan Tupoksi akan terwujud jika semua institusi penegak hukum bersama-sama bergerak memulihkan wibawa masing-masing. Dan, harus ada kemauan dan keberanian untuk memastikan bahwa di kemudian hari tidak akan ada lagi noda dari aspek etika dan moral.(*)

Anggota DPR RI/Ketua MPR RI ke-15/Ketua DPR RI ke-20/Ketua Komisi III ke-7/Dosen Tetap Pascasarjana Universitas Borobudur, Universitas Jayabaya dan Universitas Pertahanan (UNHAN)