Perjalanan saya ke Solo tanggal 1 Maret 2020 masih terekam sangat tajam. Dua hal yang membuat peristiwa ini tidak akan salah catat: pertama, sebagai sobat ambyar bersua idola, Mas DK sang pelantun Sewu Kutho, dan kedua, Mas Chandra membuat goresan kenangan ini dengan tlaten, terutama momen di Klaten.
Bertemu Didi Kempot, memberi kisah yang tak akan pernah terhapus dalam ingatan, meski sudah berlalu. Memang, bukankah ada saat berjumpa, tapi ada saat berpisah?
Bagi saya, berjumpa walau sesaat, sudah membuat bahagia yang begitu kentara. Bertemu Mas DK adalah sebuah mimpi yang terealisasi. Setelah itu, saya kembali pada denyut kehidupan sesungguhnya, dunia nyata, realita yang penuh gegas.
Setelah kenyang makan siang dengan the Godfather of Broken Heart, hari Minggu itu saya ingin menghabiskan waktu di museum De Tjolomadu. Akhirnya, saya, Pak Teguh, Pak Willy, Pak Rudi, Pak Setyo, Mas Chandra, dan Mas Rhion sampai di De Tjolomadoe saat waktu Sholat Ashar tiba.
Saat untuk sujud syukur atas nikmat yang hari ini kita dapat dari Allah SWT Sang Maha Pemberi Nikmat. Saya menjamak Sholat Dhuhur dan Sholat Ashar, sementara rekan-rekan lain yang tinggal di Solo dan sekitarnya tentu tidak mendapat keringanan untuk menggabung dua sholat.
Kami kembali ke kendaraan masing-masing untuk menuju lokasi loket tiket masuk De Tjolomadoe. Andai tahu jika jarak loket tiket tak terlalu jauh dari mushola, saya pasti memilih jalan kaki, untuk membakar lemak dari lunch meeting tadi. Dan, Mas Rhion yang bertugas menggantikan peran Mas Arya dengan sigap membeli tiket masuk De Tjolomadoe. Per orang cukup Rp 35.000. Tentu ini hanya tiket masuk dan belum biaya pemandu.
Tanpa diminta Mas Rhion menginisiasi untuk membuat dokumentasi bahwa saya dan rombongan pernah ke sini. Foto di depan gerbang De Tjolomadoe.
Tangan saya dibubuhi stempel oleh penjaga masuk museum sebagai bukti bahwa saya sudah lunas membayar dan dapat bebas berkunjung ke setiap sudut di dalamnya. Namun sejenak saya berfikir, bagaimana saya bisa mengetahui sejarah pabrik gula ini ya secara detail, jika tidak ada pemandunya. Dan, untuk mendaptkan pemandu ternyata perlu membooking terlebih dahulu. Kala itu seluruh pemandu tidak berada di lokasi dan tak mungkin harus menunggu lebih dari 30 menit untuk mendatangkannya.
Tiba tiba Mas Chandra datang bersama seorang gadis berseragam SMA atau SMK. Rupanya gadis itu adalah anak magang di museum pabrik gula ini. Dengan sopan, ia sejak awal mengatakan bahwa ia belum mengenal secara rinci setiap sudut museum. Suaranya terdengar lirih ada rasa takut salah atau tak dapat menjawab pertanyaan yang kami ajukan. Maka tak lama, seorang sekuriti memggantikannya dengan lebih apik tatanan kata dan runut sejarah sejak pabrik gula berdiri, memasuki masa kejayaan, lalu kalah diterjang jaman hingga beralih fungsi seperti sekarang.
Dari petugas sekuriti yang hari itu terpaksa merangkap tugas menjadi tour guide, saya dan rombongan mendapat wawasan lumayan lengkap tentang sejarah De Tjolomadoe. Saya menangkap beberapa penjelasan petugas sekuriti tersebut dengan kisah singkat berikut.
Sewaktu jaman penjajahan Belanda, banyak pabrik gula yang didirikan di Pulau Jawa. Tentunya rata-rata dibangun oleh orang Belanda. Nah, berbeda dengan pabrim gula yang lain, Pabrik Gula Colomadu adalah pabrik gula pertama yang dibangun oleh penguasa lokal, yaitu KGPAA Mangkunegara IV.
Tahun 1861, Mangkunegara IV mendirikan sebuah pabrik gula di desa Malangwijan yang dikenal dengan nama Pabrik Gula Colomadu (PG Colomadu). Biaya yang cukup besar karena peralatan yang mahal menuat pembangunan pabrik gula ini sempat tersendat. Walau akhirnya pabrik gula ini rampung dibangun dan siap berproduksi. Lantas mulai tahun 1863, cerobong tinggi PG Colomadu mulai mengepulkan asap. Kepulan asap in pertanda produksi gula sedang berjalan. Dari gambar yang terpampang di salah satu dinding tahun ke tahun, wilayah pemasaran PG Colomadu tidak hanya untuk dalam negeri namun hingga Singapura. Pada jaman kejayaannya, PG Colomadu sempat menjadi pabrik gula dengan kapasitas paling besar di Asia Tenggara.
Masa kejayaan PG Colomadu mulai merapuh dan PG Colomadu memasuki masa-masa sulit saat Jepang menjajah pada tahun 1942. Pada jaman pendudukan Jepang, rakyat tidak boleh menanam tebu. Semua rakyak dipaksa menanam padi dan kapas. Tentu untuk alasan kebutuhan logistik perang. Dengan tidak adanya tanaman tebu, otomatis bahan baku terganggu.
Kisah PG Colomadu tak kunjung ampuh walau Indonesia merdeka. Tahun 1946, karena status Kadipaten Mangkunegaran dihapus, PG Colomadu lantas dikelola oleh Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia. PG Colomadu semakin sulit mengingat masyarakat petani enggan menanam tebu. Mereka lebih suka menanam padi dan palawija yang harganya lebih baik.
Saya tidak bisa menduga apakah oleh sebab kebijakan yang kurang pas diambil oleh pimpinan penerintahan sehingga lebih suka mendatangkan gula dari luar negeri atau karena manajemen pabrik yang tidak mumpuni sehingga tanda-tanda kematian PG Colomadu semakin hari semakin nampak. Akhir tragis terjadi pada tahun 1998, cerobong yang menjulang tinggi PG Colomadu tak mengepulkan asap lagi. Perjalanan yang telah dilewati dari tahun 1861 hingga tahun 1998 atau selama 137 tahun beroperasi harus berakhir sedih.
Dua puluh tahun PG Colomadu terbelenggu dalam sisa kemegahan bangunan lama. Tak ada denyut tanda kehidupan, bak bangkai yang terbengkelai. Cerita dari petugas sekuriti tentang penghuni yang tak tampak namun sering mengganggu pengunjung akhirnya terkuak. Pak Rudi menyelidik di bagian mana yang paling menyeramkan dan hantu seperti apa yang sering mengganggu wisatawan. Memang ada bagian yang pengunjung tak boleh mendekat, di situlah kumpulan pengganggu itu merapat.
Nah, baru pada tahun 2017 sebuah Joint Venture bernama PT Sinergi Colomadu dibentuk oleh PT PP (Persero) Tbk, PT PP Properti Tbk, PT Taman Wisata Candi Prambanan, Borobudur, dan Ratu Boko (Persero), dan PT Jasa Marga Properti. PT Sinergi Colomadu ditugasi untuk melaksanakan konstruksi revitalisasi dengan mengikuti kaidah cagar budaya.
Mesin-mesin raksasa pabrik gula yang asli bikinan Jerman dipertahankan untuk memberikan wawasan sejarah bagi pengunjung. Karat-karat di mesin giling mengajak wisatawan menerawang jauh ke masa lampau. Tak terbayang bagaimana dahulu membawanya datang dari Jerman sampai ke Colomadu.
De Tjolomadoe memiliki hall yang dapat menampung hingga 3000 orang. Tjolomadoe Hall namanya yang juga digunakan sebagai tempat peresmian dibukanya De Tjolomadoe sebagai museum. David Foster and Friends menyemarakkan peresmian dengan konsernya yang sekaligus sebagai saksi megahnya De Tjolomadoe.
Demikianlah cerita yang dituturkan oleh petugas sekuriti yang menemani lebih dari 30 menit kunjungan. Saya masih takjub saat menatap mesin-mesin tua yang sangat besar itu. Mesin-mesin itu seolah bercerita dalam sunyi, bahwa kerja merekalah hingga orang merasakan manisnya gula. Sangat jelas ini bukti bahwa Mangkunegara IV sangat ingin PG Colomadu terus berjaya. Seperti tertera dalam pesannya:
“Pabrik iki openono, senajan ora nyugihi, nanging nguripi, kinaryo papan pangupo jiwone kawulo dasih.”
(Peliharalah pabrik ini, meski tak membuat kaya, tetapi menghidupi, menjadi tempat mencari naskah rakyat banyak.)
Sebuah niat kuat dari seorang negarawan untuk bisa menghidupi rakyatnya. Saya lebih memaknai lebih jauh lagi. Ini adalah pesan bahwa seharusnya kita bisa membuat manisnya gula dengan kekuatan bangsa sendiri, tanpa harus tergantung dari negeri orang lain. (Bersambung)
Nami Kulo Sumarjono. Salam NKS