Pilih Jeneng Kok Bawang…

oleh -230 Dilihat
oleh

Ini masih tentang nama paraban. Cerita yang agak aneh dan nama yang tidak lazim. Jadi begini, saat itu, Kampung mBanaran memasuki malam. Suara hewan malam mulai bersahutan. Ada jangkrik, belalang, tokek, cicak, atau suara malam itu sendiri. Waktu sudah ba’da iysak. Selepas shalat berjamaah di masjid, kebiasaanku menuju ke cakruk  atau pos ronda, di samping rumah Mbah Lasmi.

Pas datang, ndilalah kok masih sepi. Iseng, aku memukul kentongan besar dari pokok pohon kelapa karya Mbah Sono Radiman  yang disumbangkan untuk cakruk kampung. Biasanya, kalau ada suara ketongan, geng mBanaran pada bermunculan.

Tong… trontong tong….suara kentongan dipukul. Itu menjadi kode dan isyarat kami untuk berkumpul. Benar. Lima menit ditunggu masih sepi. Beberapa saat kemudian muncul Mas Gurin dari Utara. Naik sepeda mini kesayangannya sejak kecil. Muncul Kang Je bawa gitar khasnya, disusul Kangbarno.

“Mana konconya?” tanya Gurin.

“Konconya Yo kamu itu,” jawabku.

“Tikarnya gek digelar!” Perintah Gurin.

“Siap nDan…”jawabku

Sementara Kang Je masih genjrang-genjreng dengan gitarnya, dari jauh datang kawan kami yang paling aneh. Seniman gagal. Datang-datang dia langsung baca puisi-puisi barunya,  tentang cinta tentunya. Terobsesi jadi seniman, atau terobsesi dengan WS Rendra si burung merak idolanya.

Tapi kami sebagai temanya tidak peduli. Bahkan kami sering sebut  Wong Edan. Orang gila. Lagi kumat dan sebagainya. “Maklum karena sodaranya….!” kata Kangbarno, senior kami.

“Mulai malam ini namaku menjadi Bawang Dandanggulo dengan gelar Ki, sehingga menjadi Ki Bawang Dandanggulo,” katanya, aneh dan tiba-tiba. Kami tidak mengerti, karena memang selama ini seperti itu.

“Weh… ” jawabku, merasa aneh saja. Yang lain hanya diam.

“Mungkin baru kerasukan Danyang makam mBanaran,” bisiku kepada Mas Gurin.

“Ho-o paling,” jawab Gurin. Kami pun tertawa. Dan mulai saat itu kami memanggil temanku dengan Ki Bawang.

“Terinspirasi makam mBanaran ya, Ki?” tanyaku

” Tidak, hasil wangsit setelah menjalani laku prihatin…”

“Weeeh… laku dimana.”

“Makam mBanaran.”

“Tenan to?!” Sahut Mas Gurin.

Mengenai makam mBanaran di kampung kami memang menginspirasi. Makam seluas sekitar 1000 meter persegi ini dimakamkan leluhur kami. Eyang Singosari, beserta keluarga dan pengikutnya. Makam keramat. Tempat orang bertapa. Mencari bisikan gaib. Atau tempat menyepi, menyendiri, berdiam diri, untuk mencari inspirasi.

“Filosofi nya apa kok pakai nama Ki Bawang Dandanggulo?” tanyaku, masih bingung nama kok Bawang. Pakaai Dandangulo lagi.

“Bawang adalah bumbu masak, obat, dan tolak bala, sedang Dandanggulo adalah salah Satu jenis lagu Jawa Yang indah.  sehingga aku bisa menjadi bumbu yang indah di kampung mBanaran ini,” jelasnya semakin membuat bingung.

“Oh begitu,” sahutku

“Jadi sebagai orang Jawa harus bisa mengambil makna benda. Bawang ada maknanya, gentong ada maknanya, pepohonan ada maknanya. Semua harus kita jabarkan,” Ki Bawang sahabatku terus saja bicara. Ngoceh dewe. Aku pun tertidur. Tak tahu lagi apa yang dibicarakan semalam.

Adzan subuh dari masjid Al Istiqomah sayup sayup terdengar membuatku terbangun. Kulihat  sekitar sudah sepi, rupanya kawanku sudah pada pergi tanpa membangunkanku. Maka kulipat tikar untuk disimpan.

“Asem tenan… masak ditinggal pergi tanpa dibangunin,” gerutuku dalam hati, sambil bergegas pulang untuk pergi subuhan. (stmj)

Response (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.