Banyak memang, jejak sejarah yang terpahat di masjid Agung Demak yang membanggakan itu. Soko Majapahit adalah salah satunya. Tiang berjumlah delapan itu, dibawa dari Majapahit sebagai hadiah Brawijaya V, raja terakhir yang tak lain ayahanda Raden Patah.
Tapak kaki Majapahit juga dapat dilihat pada gambar segi delapan, yang para sejarawan menyebut pernah dipakai di Majapahit. Gambar itu, di Masjid Agung Demak, dikenal sebagai Surya Majapahit.
Dan, yang juga tinggalan Majapahit, yang masih abadi di Masjid Agung Demak adalah dampar kencana. Singgasana raja itu, selama berabad-abad menjadi mimbar untuk para pengkotbah.
Masjid agung yang memancarkan pesona spiritual itu, sungguh diseraki sejarah. Nyaris setiap detil masjid, meninggalkan kisah dari masa silam. Sebuah kisah, yang lestari, meski kadang diturunkan lewat mitos dan cerita tutur yang penuh sensasi.
Salah satu yang selalu didengungkan sebagai sensasi adalah soko guru masjid ini. Berjumlah empat, menjadi penyangga utama bangunan masjid. Dengan tinggi masing-masing 1630 centimeter, soko ini mewakili empat unsur, yang seolah menjadi pagar di empat penjuru mata angin.
Sunan Ampel, sebagai sesepuh wali, membuat soko di bagian tenggara. Barat laut menjadi tanggungjawab Sunan Bonang. Di bagian barat daya, Sunan Gunung Jati meletakkan soko buah karyanya. Lalu, yang paling fenomenal, adalah soko di bagian timur laut. Inilah soko tatal milik Kanjeng Sunan Kalijaga.
Namun demikian, selain soko guru masjid, sesungguhnya, sangat banyak yang menarik dari masjid kuno ini. Lihat saja, piring-piring tua yang menempel di dinding. Jumlahnya ada 65. Ada yang dipasang di pangimaman, sebagian lagi menghiasi dinding lainnya. Piring-piring yang sangat klasik itu, hadiah Putri Champa, ibunda Raden Patah, yang kemudian menjadi istri Arya Damar, setelah melahirkan Patah, usai‘dikebonke’, diberikan kepada orang lain oleh Brawiijaya V.
Yang juga istimewa di masjid ini, adalah pintu bledeg. Inilah pintu yang mengabadikan kehebatan Ki Ageng Sela, tokoh sakti penakhluk petir (bledeg). Ornamen di dalam pintu itu, bisa ditelusuri gaya Majapahitan yang berada di sebelah atas. Serta, jejak kebudayaan Tiongkok, yang terukir dalam hiasaan di bagian bawah pintu.
Simbol yang tak kalah menarik, diperlihatkan pada bedug dan kenthongan. Penanda waktu sholat ini, dibunyikan sebelum mengumandangkan adzan. Bedug dipukul sembilan kali, sesuai jumlah Walisongo. Sedang kenthongan, memindahkan bentuk kuda pacu, yang selalu mengingatkan agar umat Islam bergegas secepat kuda berlari, untuk memasuki masjid, menunaikan rukun Islam.(bersambung)