Maka begitulah. Raja agung Majapahit itu, merasa tidak memiliki pilihan. Istrinya yang tengah hamil ditundung. Brawijaya memberikannya pada Arya Damar, putra sulungnya yang menjadi Adipati Palembang.
Anak dalam kandungan itulah, yang kemudian dicatat sejarah sebagai Raden Patah. Lalu, mungkinkah sejarah Demak dibangun di atas bara kesumat; akibat luka hati Patah, karena ibunya terusir dari Majapahit, sehingga ia memilih membangun Glagahwangi setelah menghancurkan istana Brawijaya.
Kisah penakhlukan Majapahit oleh pasukan Raden Patah, ditemukan bukan hanya dalam cerita tutur. Malinkah juga tertulis dalam Serat Kanda dan yang popular dikabarkan oleh Babad Tanah Jawi.
Keinginan Patah untuk menyerang Brawijaya, sesungguhnya sudah dilarang oleh Sunan Ampel. Untuk sementara perintah Ampel didengar, namun sepeninggal sunan sepuh itu, Demak tetap menggepuk Majapahit. Sejak itulah, ada yang peraya, Brawijaya V muksa bersama hancurnya Majapahit, kerajaan besar yang pernah menyatukan Nusantara.
Babad Tanah Jawi mengisahkan, pasca runtuhnya Majapahit, Sunan Giri naik tahta. Tidak lama, karena hanya 40 hari, sebagai upaya membersihkan pengaruh lama. Setelah itu, Majapahit benar-benar ilang.
Majapahit surut. Kejayaannya tanpa bekas, kini. Setelah tak ada lagi kekuatan, yang bisa mempertahankan negeri milik Raden Wijaya itu, Demak Bintoro menggantikannya sebagai kerajaan masyur.
Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Secara resmi gelar itulah yang disandang Raden Patah, sebagai penguasa Kasultanan Demak Bintoro. Ia juga bergelar (seperti ditulis Serat Pranitiradya) Sultan Syah Alam Akbar.
Puncak kejayaan Senapati Jimbun, adalah diberlakukannya Salokantara sebagai undang-undang negerinya, selain tentu saja kemegahan Masjid Agung Demak, yang hingga kini masih bisa dilihat. (*)