Renungan Kosong Delapan Kosong Delapan…

oleh -645 Dilihat
oleh

Hari ini, sehari setelah Idul Adha. Atau dua pekan sejak simbok masuk rumah sakit. Tulisan ini baru bisa diselesaikan. Saya butuh waktu dua minggu untuk merampungkannya, padahal tulisan sudah saya mulai di akhir Juli lalu. Aneh…

Tadinya, tulisan ini akan mengudara pada tanggal 8 Agustus 2019. Tanggal yang selalu saya tuliskan 0808. Seperti tahun-tahun sebelumnya, di setiap tanggal itu, saya memang memiliki tradisi menuliskan sesuatu. Tidak melulu tulisan panjang. Karena, kadang sekadar kalimat-kalimat pendek tanpa maka. Tapi tahun ini, saya merasa harus menulis agak panjang oleh sebab beberapa alasan.

Untuk memulai tulisan, saya memerlukan pulang kampung. Entahlah. Seperti ada dorongan untuk pulang di akhir Juli lalu. Bukan semata untuk memulai tulisan keramat ini, sebenarnya. Tapi seperti ada desakan batin yang amat kuat untuk pulang. Jadilah, 27 Juli saya mbradat, meninggalkan semua jadwal.

Semestinya, hanya tiga hari di kampung. Senin sore, 29 Juli, rencananya kembali ke Ciledug. Tapi, lagi-lagi, seperti ada yang ngondeli. Mudur sehari. Rencana pulang ditunda menjadi Selasa sore, 30 Juli. Tahu apa yang terjadi kemudian?

Selasa pagi, simbok jatuh di pawon. Duh Gusti paringono welas. Rupanya ini yang membuat hati saya seperti terus-terusan digendoli perasaan berat untuk meninggalkan kampung. Kepanikan segera terjadi. Drama evakuasi tidak mudah, karena bobot simbok yang kelewat berat.

Sudah. Esok harinya, kondisi simbok makin mengkhawatirkan. Keputusan diambil. Membawanya ke rumah sakit. Dan, benar. Harus mondok.  Bulan kosong delapan masuk lewat pintu yang sendu. Tanggal satu bulan 08, saya masih menunggui simbok sampai kakang-mbakyu-adi, silih berganti datang.

Sehari dirawat, saya berencana menengok pekerjaan. Tiket sudah dibeli untuk keberangkatan sore hari. Tapi pada siangnya, dokter memberi perintah mendebarkan: simbok harus masuk ICU.

Ya Tuhan. Sekali lagi, saya tidak jadi meninggalkan kampung halaman. Saya tak peduli lagi dengan tiket yang sudah dibeli, karena masih harus memastikan simbok tidak apa-apa, meski mendadak dibawa ke ICU.

Sehari, dua hari, tiga hari. Perkembangan dari ICU sangat lambat. Tapi saya yakin, simbok tidak apa-apa saya tinggal sebentar. Toh, anak-anaknya yang lain masih komplet menungguinya. Sudah. Sambil menahan ngilu melihat simbok dengan selang-selang, alat bantu nafas, serta grafik monitor yang absurd tapi membuat takut, saya pamit.

Menjauh dari rumah sakit, pada hari-hari berikutnya, saya mendengar kabar yang (alhamdulillah) menggembirakan. Dan, Kamis, 08082019, simbok bisa dibawa keluar dari ICU. Puji Gusti. Hari itu, saya tidak tahan lagi untuk menangis. Dalam beberapa detik, saya biarkan airmata mengalir. Simbok mulai menunjukan tanda-tanda kesembuhan di hari ulangtahunnya. 8 Agustus 2019. Ulangtahun ke-76.

Keharuan datang, terutama karena di saat sakit, simbok mampu melewati tanggal wingit, 0808. Lalu (ini yang juga sangat menyayat perasaan) kado paling indah bagi tanggap warso beliau adalah kedatangan bapak ke rumah sakit. Hari itu, pada tanggal 8 Agustus, bapak juga berulangtahun.

Usia bapak genap 83. Setidaknya itu yang tertulis di KTP, meski menurut bapak tahun kelahirannya dimajukan, karena yang ia ingat kelahirannya pada tahun 1930. Dulu, mbah lanang atau bapaknya bapak, juga bercerita, saat pendudukan bala tentara Jepang, bapak sudah remaja yang kalau tidak dicegah simbah, ikut masuk barisan tentara pelajar.

Sebuah foto saat bapak menghampiri simbok, lalu memberi sentuhan lembut di lengannya, adalah momentum paling pilu. Sepotong foto yang dikirimkan adik saya, lagi-lagi, membuat saya mbrebes mili. Yakinlah. Pada saat bapak menyentuh simbok, ada kepedihan yang ditahannya. Saya bisa merasakan itu.

Mereka, bapak dan simbok saya itu, telah mengarungi kebersamaan panjang hingga 60 tahun. Jadi bisa dibayangkan betapa amat melekat perasaan keduanya. Selama dua pekan simbok dirawat, bapak terus-terusan minta ikut ke rumah sakit. Tapi kami tidak tega melihat bapak akan sangat terpukul hatinya jika melihat simbok di ICU. Kami baru mengajaknya ke rumah sakit, setelah simbok keluar dari ICU.  Dan itu di tanggal ulangtahun keduanya, 0808.

Kedatangan bapak, rupanya bukan hanya kado istimewa buat simbok. Mendapat sentuhan tangan bapak, ternyata obat paling penting bagi kesembuhan simbok. Nyatanya, setelah tanggal 8 Agustus itu (tanggal ketika mereka saling memberi kado ulangtahun) kondisi simbok semakin baik.

Bertemunya bapak dan simbok di rumah sakit pada momentum ulangtahun, sesungguhnya juga kado bagi saya. Tapi melihat mereka selalu sehat, rasanya jauh lebih indah. Sugeng ambal warso mbah, lestari momong anak-putu-buyut.(*)