Angka delapan, bagi orang Jawa memiliki makna sangat khusus. Setiap delapan tahun sekali, ada peringatan satu windu. Dan, jika seorang anak sudah mendekati satu windu tapi belum mempunyai adik, dibutuhkan upacara tersendiri dengan nanggap wayang kulit.
Ini dikenal dengan sebutan ngruwat. Lakon yang dimainkan adalah Kresno Gugah, lalu disambung Murwakala. Ruwatan dibutuhkan untuk membersihkan segala reridu, kekotoran yang membuat hidup tidak gangsar.
Sudah. Pada satu windu ini pula biasanya anak laki-laki akan khitan. Setibanya di tempat sunat, sang ibu menggendong si anak ke dalam ruangan seraya mengucapkan kalimat, laramu tak sandang kabeh.
Orang Jawa kuno sejak dulu terbiasa menghitung dan memperingati usianya dalam satuan windu, yaitu setiap delapan tahun. Peristiwa ini dinamakan windon. Saat itu, orangtua mengadakan slametan bubur merah-putih dan nasi tumpeng yang diberi delapan telur ayam rebus sebagai lambang usia.
Peringatan harus dilakukan sehari atau dua hari setelah hari kelahiran, yang diyakini agar usia lebih panjang. Kemudian saat peringatan dua windu, si anak sudah dianggap remaja, suaranya ngagor-agori.
Saat berusia 32 tahun yang biasanya sudah kawin dan mempunyai anak, hari lahirnya dirayakan karena ia sudah hidup selama empat windu. Acaranya dinamakan tumbuk alit (ulang tahun kecil). Sedangkan ulang tahun yang ke 62 tahun disebut tumbuk ageng. (bersambung)