Wilijeng wengi, poro sedulur. Selamat malam untukmu yang sedang merindukan masa lalu. Tidak usah resah, masih ada kisah yang akan bisa dikenang. Tapi siapkan sapu tangan, agar pipi tak terlalu lama, basah oleh luh.
Tulisan ini, barangkali, tidak untuk apa-apa, selain sekadar memanjang-majangkan kalimat. Selebihnya, bayanganmu yang selalu sendu, adalah cerita yang tak pernah usai untuk diurai. Ah, embuh, iki tulisan opo. Jare densus, sudah biasa, kalau saya nulis yang kayak gini-gini, pasti karena sedang resah. Atau (nah, ini yang selalu membuat saya agak malu) dia menengarai, tulisan-tulisan model gini, adalah ekspresi rasa rindu. Kangen pada sesuatu.
O njih. Awal bulan lalu, saya ketemu densus. Wah jian, tambah besus. Saya diajak bertetirah di dua kramatan leluhur. Yang pertama kramatan Mbanaran, di belakang rumah. Yang kedua, kramatan Empu Jombok di Bujidan.
Kramatan Mbanaran adalah pajimatan tua yang menjadi tempat Kiai Sorokusumo, dipusarakan. Inilah leluhur yang menurunkan krandah Jombokarto. Berdasar cerita tutur, Kiai Sorokusumo ada kaitannya dengan Pangeran Singasari.
Orang-orang di sekitar kramatan menyebut dengan sangat hormat sebagai Eyang Singasari. Inilah nama sangat populer di masa Kraton Mataram. Para tetua desa, meyakini Eyang Singasari yang dimaksud adalah salah seorang putra Susuhunan Amangkurat pertama. Tapi memang, belum jelas benar, apakah yang ada di makam Mbanaran adalah pusaranya atau sekadar petilasan.