Baratayuda makin panas menjelang detik-detik akhir sebelum memuncak dalam perang habis-habisan. Satu demi satu senapati utama Kurawa berguguran, menuntaskan karma perbuatannya di masa lalu. Begitu pun Baratayuda yang tak mengenal tua-muda, sakti-tidak sakti. Sebab, para sakti yang nyaris tak tertandingi pun tumpas.
Oleh: Ki Bawang Dalang Tanpa Wayang
Raja Kurawa berjuluk Prabu Duryudana, telah kalah. Semua bala Astina gugur menebus kesalahan. Tinggal Aswatama yang telah diusir dari istana, lalu berkeliaran tanpa tujuan. Hatinya panas, dibakar bara dendamnya pada Pandawa.
Lalu, langkahnya dibawa ke dekat bangsal Pandawa yang bahagia karena sedang menunggu putra Abimanyu. Bayi bernama Parikesit itu dijaga pasukan segelar-sepapan dengan senjata lengkap.
Dan, kepada bayi Parikesit inilah, dendam Aswatama terutama ditunjukkan. Niatnya bulat untuk menyusup ke bangsal tempat Parikesit ditidurkan dalam penjagaan super ketat. Aswatama tidak peduli meski harus bertaruh nyatanya sendiri.
Maka, selepas tengah malam, ia lancarkan aksinya. Satu demi satu, ia melewati para penjaga yang sudah terpengaruh aji sirep yang ia tebar. Tapi menjelang pintu utama, ia terperanjat melihat ada Sencaki melotot bersandar di gerbang kayu yang terkunci. Tapi setelah lama dinantikan tak ada reaksi, Aswatama paham bahwa sebenarnya Sencaki tertidur dengan mata sengaja dibuka lebar.
Dengan senjatanya, Aswatama menerjang Sencaki. Padahal jika sedang berharap-hadapan, selalu saja Aswatama melarikan diri meski baru melihat bayangan Sencaki. Tapi kini, ia mampu membunuh Sencaki dengan sekali tikam.
Seterusnya begitu, langkah Aswatama bebas tanpa dihalangi siapapun, sehingga dengan sangat mudah membunuhi orang-orang yang yang menjaga Parikesit. Semua tumpas tanpa sisa. Tinggal Parikesit seorang diri yang kini harus menghadapi kemarahan Aswatama.
Jadi begitulah. Lakon menjelang akhir Baratayuda ini terasa tragis karena membuat kita ngenes. Dendam ditumpahkan secara habis-habisan. Suasana jelang usainya Baratayuda itu, saya rasakan bagai atau lebih tepatnya saya bayangkan seperti suasana hari-hari ini, sepanjang tahun politik.
Suhu panas, bahkan terasa betul di bibir tragedi. Apalagi jika melonggok dunia maya yang bebas tanpa batas. Semogalah, semua segera berakhir setelah Parikesit dinobatkan sebagai raja baru.(*)