Siti Maryam: Alumni IBO Bertambah Ilmu

oleh -1063 Dilihat
oleh

Alumni Inkubasi Bisnis Outwall (IBO) Tahap Awal Kerajinan Akrilik belajar Kerajinan Decoupage, di Bekasi kemarin. Kerajinan Decoupage miliputi menempel gambar dari kertas tisu ke tas dan dompet. Selain itu juga biss di media lain seperti kain dan bahan yang terbuat dari datar.

Sukini dan Susi Pawestri alumni IBO Kerajinan Akrilik mengaku memperoleh tambahan ilmu dengan mengikuti Kerajinan Decoupage. “Ibu-ibu di sana justru tertarik belajar kerajinan akrilik,” kata mama Andin yang berasal dari Wonogiri.

Sedangkan Susi Pawestri asal Purbalingga banyak mendapat ilmu dan pengalaman. Selain banyak kenalan juga membuka wawasan dalam berusaha. Ada perbandingan bagaimana memulai usaha, mengelola dan membesarkan usaha. Kuncinya jangan pernah bosan. Sekali gagal, terus dan terus mencoba.

Siti Maryam yang menyelenggarakan IBO Kerajinan Akrilik mengaku bahagia alumninya mengikuti kegiatan di luar. “Makin banyak kegiatan makin maju, makin banyak peserta berusaha memungkinkan banyak usaha yang berkembang,” ujarnya.

Melihat orang-orang di sekitarnya maju memang menjadi kebahagiaan terbesar bagi Siti Maryam. Selain lewat pelatihan-pelatihan seperti Inkubasi Bisnis Outwall, ia  banyak melakukan gerakan pemberdayaan perempuan di Kota Bekasi, selain medan perjuangannya di bidang pendidikan.

Wanita asli Bekasi ini, sudah sejak lama menjadi seorang pendidik. Ia bahkan, berusaha sangat keras, mewujudkana cita-citanya menjadi guru. Ia juga membangun sekolah sendiri, terutama untuk pendidikan dini.  Memiliki lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Taman Penitipan Anak (TPA), adalah mimpinya sejak lama. Mimpi agar bisa ikut memperjuangkan nasib pendidikan bagi generasi Kota Bekasi.

Lewat lembaga pendidikan yang ia bangun, meski sedikit, Siti Maryam merasa ikut membangun karakter anak-anak di Kota Bekasi. Pendidikan berbasis Islam itu, mulai dari Taman Pendidikan al Quran (TPQ), Madrasah Diniyat Takmiliyah Awaliyah (DTA) hingga majelis taklim.

 

Dirintis sejak tahun 1998, ia baru benar-benar mampu mendirikan taman kanak-kanak, beberapa tahun kemudian. Ia beri nama sekolahnya itu, TK Zaid bin Tsabit.  Jadilah, secara formal, pendidikannya berlangsung sejak tahun 2004. Itupun setelah ia merelakan rumahnya disulap menjadi sekolah.  Proses pendidikan dan pengajaran berlangsung di ruang tamu. Seiring dengan kebutuhan kelas dan sarana lain, dikembangkan bangunan yang dapat dimanfaatkan untuk ruang kelas. “Rumah ini memang sengaja diperuntukkan bagi anak-anak kurang mampu menimba ilmu,” kata Siti Maryam.

Dari beranda rumah dan ruang tamu, pembangunan terus berlangsung, lantai dua masih dalam proses penyelesaian. Diharapkan dalam waktu tidak terlalu lama ruang kelas yang dibutuhkan dapat disediakan.

Setelah seisi rumahnya untuk sekolah, mulai tahun ajaran baru 2010-2011 pihaknya menambah sarana dan prasarana. Selain menambah muatan pelajaran ekstra kurikuler di antaranya kesenian marawis dan drum band. Semua itu diharapkan memberikan kesempatan terbaik bagi anak-anak untuk memasuki jenjang pendidikan sekolah yang lebih tinggi.

“Kami melakukan berbagai terobosan untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat, terutama masyarakat yang secara ekonomi kurang mampu,” paparnya sambil menambahkan untuk keperluan itu diberlakukan subsidi silang.

Membuka kelas baru dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada anak-anak mengikuti pendidikan di Taman Kanak-kanak. Dengan demikian anak-anak memiliki kesempatan untuk memperoleh pendidikan prasekolah. Selanjutnya anak-anak mendapat bekal untuk menempuh pendidikan di sekolah yang sesungguhnya.

Tahun 2015 membuka kelas bagi kaum dhuafa dengan membayar setiap hari. Tidak dengan uang, tapi dengan membawa sampah yang dapat didaur ulang. Selain daur ulang sampah, masyarakat memperoleh kesempatan untuk mengikuti pelatihan membuat kerajinan dari sampah rumah tangga. (mg)