Surjan adalah baju laki-laki khas Jawa berkerah tegak, berlengan panjang, terbuat dari bahan lurik atau cita berkembang. Kata surjan merupakan bentuk tembung garba (gabungan dua kata atau lebih, diringkas menjadi dua suku kata), yaitu dari kata suraksa-janma (menjadi manusia). Adapun menurut makalah yang diterbitkan oleh Tepas Dwarapura Keraton Ngayogyokarto Surjan berasal dari istilah Siro + Jan yang berarti pelita atau yang memberi terang.
Surjan merupakan pakaian adat pria model Yogyakarta, walaupun konon katannya Surjan merupakan pakaian khas dari kerajaan Mataram sebelum terpecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta. Surjan awalnya diciptakan oleh Sunan Kalijaga yang diinspirasi oleh model pakaian pada waktu itu dan selanjutnya digunakan oleh Mataram.
Pakaian surjan dapat disebut pakaian “takwa”, karena terkandung makna-makna filosofi, di antaranya: bagian leher memiliki kancing 3 pasang (6 biji kancing) yang menggambarkan rukun iman. Selain itu surjan juga memiliki dua buah kancing di bagian dada sebelah kiri dan kanan sebagai simbol dua kalimat syahadat.
Disamping itu surjan memiliki tiga buah kancing di dalam (bagian dada dekat perut) yang letaknya tertutup (tidak kelihatan) dari luar, yang menggambarkan tiga macam nafsu manusia yang harus diredam/dikendalikan/ditutup. Nafsu-nafsu tersebut adalah nafsu bahimah (hewani), nafsu lauwamah (nafsu makan dan minum), dan nafsu syaitoniah (nafsu setan) (K.R.T. Jatiningrat, 2008).
Baju Surjan terdiri dari dua jenis yaitu surjan Lurik dan surjan Ontrokusuma. Dikatakan Surjan lurik karena bermotif garis-garis, sedangkan Surjan Ontrokusuma karena bermotif bunga (kusuma). Jenis dan motif kain yang digunakan untuk membuat surjan tersebut bukan kain polos ataupun kain lurik buatan dalam negeri saja, namun untuk surjan Ontrokusuma terbuat dari kain sutera bermotif hiasan berbagai macam bunga.
Surjan ontrokusuma khusus sebagai pakaian para bangsawan Mataram, sedangkan bagi aparat kerajaan hingga prajurit, surjan seragamnya menggunakan bahan kain lurik dalam negeri, dengan motif lurik (garis-garis lurus).
Untuk membedakan jenjang jabatan/kedudukan pemakainya, ditandai atau dibedakan dari besar-kecilnya motif lurik, warna dasar kain lurik dan warna-warni luriknya. Semakin besar luriknya berarti semakin tinggi jabatannya; atau semakin kecil luriknya berarti semakin rendah jabatannya. Demikian pula warna dasar kain dan warna-warni luriknya akan menunjukkan pangkat (derajat/martabat) sesuai gelar kebangsawanannya.
Jadi, baju surjan bukan sekadar untuk fashion dan menutupi anggota tubuh supaya tidak kedinginan dan kepanasan serta untuk kepantasan saja, namun di dalamnya memang terkandung makna filosofi yang dalam.
Di era modern, dimana banyak sekali jenis bahan kain dengan berbagai motif dan kualitas bagus bisa dikolaborasikan untuk menciptakan baju surjan modern dengan mode yang bagus tanpa meninggalkan filosofinya, tanpa kehilangan rohnya. Sebagai contoh, di Kulon Progo marak produksi batik dengan motif gemblek renteng. Misalnya, untuk surjan Ontrokusuma bisa ditambahkan motif bunga, sedangkan untuk surjan lurik bisa ditambahkan motif garis-garis. Jadi surjan Ontrokusuma tidak harus lagi dari kain sutera, dan untuk surjan lurik tidk harus lagi dari bahan lurik.
Perlu ditinjau kembali bahwa yang berhak memakai surjan Ontrokusuma tidak hanya monopoli raja dan kaum bangsawan saja, melainkan juga para pimpinan birokrat (bupati, camat, lurah, dsb). Bila perlu hal ini diatur dalam Undang Undang Keistimewaan, untuk membedakan surjan Ontrokusuma bangsawan dan surjan Ontrokusuma birokrat. Demikian pula untuk jenis surjan lurik, perlu diatur untuk membedakan antara abdi dalem di dalam benteng dengan rakyat biasa di luar benteng.
Upaya melestarikan pakain Surjan dilakukan di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Di sekolah-sekolah siswa, guru, dan karyawan diwajibkan memakai surjan setiap Kamis Paing atau hari-hari tertentu untuk memperingati berdirinya Keraton Ngayogyokarto dan Undang-undang Keistimewaan (Gambar 1).
Di kampung-kampung setiap ada acara tertentu seperti kirab budaya para pamong dan warga dianjurkan memakai baju surjan (Gambar 2). Adapun para perantau, mereka melestariakan baju surjan lebih sebagai mode, dengan menggunakan bahan dengan motif yang menarik (Gambar 3).
(Sumber utama: Museum Bumi Putra 1912)