Teriakan itu, nyaring, seperti lengking Bu Mar, guru kesenian yang hobi banget nyanyi seriosa. “H-1 nih H-1!!! Mana persiapannya?? Masih gini-gini aja nih dek?” teriak senior saman di tengah latihan. Ugh, untung aja senior itu lumayan cakep. Coba kalau gak, udah ditinggalin semua cewek tuh.
Kami memang sedang latihan Saman. Kata banyak senior, rata-rata power kami bagus, malah bangus banget. Namun yang jadi masalah itu cuma ke kompakan. Ya. Ke-kom-pak-an.
Akhirnya, setelah banyak sekali nasihat (namanya nasihat senior, udah pasti gak jauh-jauh dari pengalaman-pengalamana yang agak-agak narsis gitu) kami melanjutkan latihan. Ini latihan terakhir sebelum lomba, esok hari.
Dan, hari yang membuat kami latihan sampai guling-guling, tiba. Sepulang sekolah, kami membawa semua persiapan. Terutama, persiapan mental yang paling penting.
Tiba-tiba, di tengah persiapan yang tetap aja serampangan, Fahran mendekat. Dari kejauhan, senyumnya yang kayak tukang cendol laris manis itu, sudah kelihatan. Ia mendekat dengan tatapan asing yang tak bisa dimengerti.
“Semangat ya nanti lombanya.” *jedddd…………dorrrrrr* Hati gue terasa ditembak panah azzzmara. Langsung lemes kaki gue, tangan seperti tidak bisa digerakan. Tubuh ambruk mendengar petir menyambar tanpa didahului hujan. Kenapa gue sebut kayak disengat petir, karena baru pertama kalinya Fahran berkata seperti itu.
“Eh nuy! Kok diem? Gak suka nih gua semangatin?”
Dengan gerakan salah tingkah gua menjawab sekenanya aja. Untung dia sedang melihat kea rah lain. Tapi ya ampun, dia ulangi lagi pertanyaannya. “Gak suka nih gua semangatin?”
“Aa..a…itu, iyaa. Lu juga yaasemangat nanti sp…spar…sparing basketnya.” Nah loh, gue juga akhirnya yang kena, jadi bahan ketawaan si Feni. Ia cekakakan sambil bawa barang-barang bekal Saman. Jujur saja. Saat itu, hal yang paling gua takutin iyalah ketika ia mengetahui bahwa gua salah tingkah. Huaaa….betapa malunya gua kalau dia tahu itu semua. Sial bener deh hari ini.
Dan, di saat semuanya mulai, hati gue masih tetep terserang demam. Pertandinganpun basket udah setengah main. Sekolah gue unggul dengan 9-4 di babak pertama. Pas pertandingan istirahat, selingan sebelum babak kedua ialah saman. Duh…hati rasanya dag…dig…dug…jwerrr…
Untungnya ada sahabat-sahabat baik gue yang kebetulan juga anak saman selain lintang dan feni. Saat grup saman sekolah kami pun dipanggil oleh mc-nya, mulai terdengar teriakan-teriakan gak jelas.
Gue denger suara lantang. Itu pasti suara Lintang. Dia emang paling hot kalau urusan teriak-teriak. “Sahabattttt!!!! Semangatttttttttt!!!!” Gue, Kiki, Esa dan Sita seketika menoleh sebentar dan menganggukan kepala. Ya, gue pribadi berharap penampilan ini bisa membuat semua orang bangga, terutama ibu gue. Juga CKTB, tentunya.
Namun, kenyataan berkata lain. Tim basket sekolah kami kalah di babak kedua. Scorenya 5-18. Nah yang celaka, kekalahan itu, seperti menular. Tim saman sekolah kami pun ikut kalah. Gue menangis. Menangis sejadi-jadinya. Malu. Malu sejadi-jadinya. Malu sama ibu dan CKTB.
“Gak usah takut nuy, masih ada kesempatan lain. Kali ini mungkin kamu dan anggota yang lain belum diberikan kesempatan untuk menang,” Lintang yang sejak tadi semangat, kini gentian semangat meredakan emosi gue. Benar. Gue tahu, dia emang paling tidak tegaan, melihat kami semua menangis. Dan itulah sumber semangat gue.(*)