ACI-18: Rahasia di Balik Wajah yang selalu Sendu

oleh -105 Dilihat
oleh

Ruang kelas yang dipakai rapat Osis senyap, mendadak. Seperti tidak ada yang berani buka suara. Juga Tukijo yang semestinya segera memulai pertemuan sore itu. Semua orang tahu, seisi sekolah tahu, ketua osis berkumis tipis ini, memang ngejar-ngejar Rini sejak anak Panjatan itu ikut Ospek. Hanya sialnya, Tujiko tak kunjung beruntung, karena sampai sekarang, belum terlihat tanda-tanda mereka pacaran.

Indrajit hanya mengamati ekspresi kawan sebangkunya yang kaku. Lalu, ganti memandangi Rini yang duduk di bangku kedua paling kiri. Ia menundukkan wajah yang tertekuk nyaris 90 derajat, jadi seluruh wajah itu terbenam dalam.

Tujuh langkah dari tempatnya duduk, Indrajit masih bisa menggambar wajah Rindi yang terbenam dalam, di antara rambut yang menirai. Wajah yang menurut semua orang di sekolah itu, sangat mirip dengan Nike Ardhila. Halah…

Indrajit agak kagat saat mendengar ada yang membandingkan Rini dengan penyanyinya Deddy Dores itu. Ia tak menemukan jejak Nike di wajahnya. Mungkin, rautnya yang lebih banyak sendu, sehingga disamakan dengan Nike Ardhila. Atau, mungkin karena Indrajit tak pernah bersentuhan dengan lagu-lagu melankoli gaya Dores yang menyayat.

Memang agak aneh Indrajit itu. Nike Ardhila adalah idola semua orang, tapi tidak baginya. Kalau pun harus mencari penyanyi yang menyentuh hatinya, nama yang muncul adalah Trie Utami. Sama-sama dari Bandung, suara Trie terasa manja yang berkelas bukan manja menyebalkan.

Waktu berlalu di ruang kelas satu yang membeku. Sepotong kapur di meja guru yang digeser untuk Ketua Osis yang memimpin rapat, ikut bisu.  Penghapus kayu dengan bulu-bulu yang menipis, lunglai di lantai. Lalu, di papan tulis dari kayu yang cat hitamnya mulai kalah dengan bekas kapur, masih tersisa jejak pelajaran bahasa Indonesia.

Indrajit melihat sekilas papan tulis itu, sebelum matanya kembali ke perisai rambut yang seolah memberi tirai bagi rahasia di wajah Rini. Tukijo ngunjal ambekan, menggeser catatan yang sejak tadi ada di depannya ke sisi kiri, ke tempat Indrajit masih memandangi Rini. Ia kaget, karena begitu saja Tukijo beranjak sambil memberi kode untuk memimpin rapat. Tinggallah Indrait yang terhimpit sulit karena tak mempersiapan diri memimpin rapat.

“Nur, tulong tok mulai rapate,” Indrajit bergegas menyusul Tukijo setelah setengah melempar catatan rapat pada Nur, yang ganti tersengat kaget.

“Cah edan kabeh.” Kalimat itu masih sempat mampir di telinga Indrajit sebelum benar-benar menghilang di balik jendela. Nur, atau lengkapnya Raden Nurcahya Wahyudi, satu-satunya bangsawan yang punya gelar raden di sekolah itu, dikenal sebagai orator. Jadi tak pernah merasa terpaksa memimpin rapat.

Nur adalah tiga serangkai penggerak Osis bersama Tukijo dan Indrajit. Pawakane tinggi besar, khas pawakan seorang bangsawan. Ia memiliki keanehan yang juga identik, selain senang menjadi orator. Keanehan yang satu sekolah tahu bahwa ia paling tidak suka ada yang salah menyebut namanya. Raden Nurcahya. Bukan Raden Nurcahyo.(bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.