De Tjolomadoe menggambar kisah haru antara liris dan tragis. Mulai dari susah-payahnya membangun pabrik gula hingga jaya-perkasanya sebagai yang terbesar di Asia Tenggara. Sebuah cerita liris yang manis. Hemmm…
Tapi waktu menjadi penentu tanpa ragu. Tjolomadoe atau Colomadu, pabrik gula paling penting di era kolonial, ambruk ditubruk sang waktu. Semua kejayaan berubah semu, untuk kemudian mati secara tragis: kehilangan manisnya tebu yang keburu mlayu, ikut oncat si rambut jagung yang sombong.
Saya meninggalkan Colomadu dengan langgam kusam, diterkam ngenes. Ngenes yang membuat lemes, melukis kejayaan yang kini berganti sepi. Minggu sore, 1 Maret 2020 itu, saya menjauh, meninggalkan sisa kemegahan Colomadu yang dari sebuah jarak, terlihat hanya cerobong tinggi, melamun, gagu tanpa kepulan asap.
Hati terasa koyak membayangkan De Tjolomadoe yang pernah jadi madu. Beruntung, perjalanan saya selanjutnya adalaah ke kota pemicu rindu: Jogjakarta.
Inilah kota yang tak pernah kehilangan cinta, sebab semua orang memang mencintainya. Saya, Pak Teguh, dan Mas Rhion malam itu menginap di Jogja dengan segenap rasa, seperti yang selama ini terjadi setiap pulang ke Jogja.
BACA SEBELUMNYA: http://www.kabarno.com/nks-menulis-solo-klaten-1-kisahmoe-de-tjolomadoe/
Tapi Jogja masih di kejauhan, saat Adzan Magrib mengundang untuk manekung, sujud, menjalankan kewajiban menyembah kepada Yang Maha Memiliki Hidup.
Saya dan rombongan berada di antara Solo dan Jogja. Klaten, nama kotanya. Pemerintahan Kabupaten ini menyebut dirinya, Klaten Bersinar (bersih, sehat, indah, nyaman, aman, dan rapi). Kota kecil saja, tapi terasa damai. Barangkali karena dipagari Merapi di sisi lor kulon.
Damai semakin teresapi selesai Sembahyang, menyembah Yang Maha Esa, sholat magrib di Klaten yang wingit. Sholatnya juga di mushola yang nyaman meski sekadar mushola rumah makan.
Rasanya memang beruntung, kami sedang di Klaten yang memiliki beberapa pilihan kuliner masyur. Mas Chandra yang ‘orang Klaten’, paham benar memilih tempat yang tepat. Lewat sambungan telepon dengan Mas Rhion, kami direkomendasi mencicipi menu di Rumah Makan Bu Mayar Cawas.
Saat menginjakkan kaki di RM Bu Mayar Cawas, semua meja yang tersedia tak ada yang kosong. Saya lega. Ramainya orang berkunjung, menjadi penanda bahwa rumah makan ini terkenal. Saya (kembali) lega, karena melihat meja makan tetap tersedia. Ini sudah pasti karena relasi Mas Chandra yang baik dengan resto itu.
Tidak sekadar tersedia, meja makan sudah dipenuhi makanan siap santap. Mas Chandra yang memesan makanan tanpa menanyai yang saya ingini. Saya menduga, Mas Chandra hanya mengira-ira, saya yang wong ndeso, pasti tidak akan menolak disediakan makanan ndeso yang nostalgik.
Menu di rumah makan ini tak banyak. Namun, semua menu adalah andalan, sehingga dijamin ketagihan terutama cita rasa ayam gorengnya yang berbeda.
Benar. Pada gigitan pertama, ayam goreng Bu Mayar Cawas membuat cemas. Cemas karena ketagihan dan harus melangkah jauh ke Klaten dari tempat tinggal saya di sudut Depok, Jawa Barat, jika ingin membayar rasa ketagihan.
Tapi rupanya, tak hanya ayam goreng yang ‘menampar’ lidah saya. Lidah Nganjir yang cocok dengan masakan rumah makan ini. Lihat saja daftar yang harus saya resapi saat menikmatinya: daun kenikir, kol, wortel, mentimun, dan kacang panjang.
Kombinasi sayuran itu diberi bumbu sambal parutan kelapa muda. Terus-terang, menu makanan ini selalu membuat was-was, karena mampu melemparkan ingatan ke masa silam. Orang Klaten menyebutnya sebagai “trancam”. Tapi dulu, simbok saya dan orang Kulon Progo menamai gudangan.
Menu spesial lain yang segera melengkapi memori saya pada Nganjir adalah oseng daun pepaya. Tak ada rasa pahit walau sedikit, karena yang hadir adalah gurih segar menggelegar. Tak salah Mas Chandra mengajak saya ke tempat makan RM Bu Mayar Cawas.
Dalam hati saya membatin, asem tenan. Mas Chadra paham luar dalam rupanya soal selera ndeso saya yang membuat teringat masakan Simbok di masa lalu. Apalagi sayur kreceknya yang membuat saya tak cukup mengambil sekali. Nambah sepertinya hal yang lumrah.
Itu, belum lagi yang menyukai sambal. Komposisi antara cabai, garam, tomat dan entah bumbu rahasia lainnya, begitu sempurna. Teruslah menyuap, jika makan di sini. Tidak usah cemas soal harga, karena tidak akan membuat kaget.
Tapi teori saya masih tetap benar bahwa yang mengenyangkan pada saat kita makan, bukanlah jumlah suapan yang masuk ke dalam perut. Percayalah, bukan itu. Sebab yang sebenarnya mengenyangkan, justru satu suapan terakhir.
Sholat dan makan malam sudah dilaksanakan. Kami bergegas, ngegas ke Jogja agar tak kemalaman. Bukan karena Jogja akan senyap di malam merayap, tapi saya sering kasihan pada mas driver yang mesti kerja sampai malam. Apalagi, besok harus bangun sangat pagi untuk menjemput saya lagi.
Esok, pada pagi buta, kami memang harus kembali ke kota Klaten guna melaksanakan morning briefing serta pembinaan personil Kantor Cabang Klaten. Jadi, hasrat hati, setiba di penginapan, saya langsung memeluk bantal dan pulas bermimpi.
Jam tujuh malam, saya sampai di penginapan. Selonjoran barang 10 menitan sebelum membersihkan badan. Dengan Pak Teguh dan Mas Rhion, saya janjian ketemu besok pagi pukul 06.30 untuk siap berangkat ke Kantor Cabang Klaten.
Tapi yakinlah. Jogja bukan kota yang layak ditinggal pergi memeluk mimpi. Jogja di waktu malam, justru memberi hati yang benderang. Jadilah, saat sudah mendekati jam 10 malam, saya malah meninggalkan kamar penginapan. Duduk di cafe yang sudah mau tutup di lobby penginapan, menemui seorang anak muda belia yang membuat saya mak tratap. Kaget membaca tulisan UGM di jagetknya.
Hati memang selalu berdesir setiap melihat anak muda yang mengenakan hoodie Universitas Gajah Mada (UGM). Universitas yang diincar oleh semua lulusan SMA dari seluruh Nusantara. Dulu, dulu sekali. Di tahun 1988, saya termasuk yang pernah diterima di UGM. Tapi peruntungan membawa saya menjauh dari Jogja dan singgah di Bandung.
Tahun 1988 itu, saya urungkan niat untuk daftar ulang di UGM. Jelas saya tak jadi memiliki jaket atau hoodie bertuliskan UGM. Ingatan segera melonjat, saat melihat jaget UGM yang mentereng itu. Jika dulu saya jadi keluarga UGM, mungkin sudah menjadi ahli nuklir saat ini.
Melihat anak muda berhoodie UGM itu, saya agak-agak kenal. Saya mengamati wajahnya yang khas bukan anak kota. Begitu berbicara, saya langsung mengenali logatnya yang masih menyisakan artikuliasi gaya Mbanyumasan.
Setelah berkenalan, akhirnya saya mulai paham, mungkin memang pernah bertemu. Saya tidak tahu, bertemu di mana. Bisa jadi di dunia maya, karena kami ternyata berteman di Facebook. Atau bisa juga berrtemu saat saya menjadi salah satu pembicara sebuah acara di UGM. Sangat mungkin.
Namanya Catur Prasetyo N. Melihat Mas Catur saya terasa seperti melihat diri saya saat seusianya. Jika dilihat dari nama yang disandangnya, sudah pasti saya lebih ndeso dan ternyata saya pun kalah tampan dibanding Mas Catur.
BACA JUGA http://www.kabarno.com/nks-menulis-kala-corona-memaksa-kita-makaryo-saking-griyo/
Nah, yang membuat saya surprise, Mas Catur adalah mahasiswa Program Studi Aktuaria UGM. Tapi bukan hanya itu, kami bertemu karena ditalikan oleh buku Nami Kulo Sumarjono (Buku NKS). Saya agak heran kenapa anak generasi milenial tertarik dengan Buku NKS.
Saya menduga ada kemiripan nasib dengan saya. Nasib yang tak berdaya dalam hantaman badai ekonomi. Jadilah, di kala rekannya nongkrong di caffee, Mas Catur menembus dinginnya malam, nyaris melopati jam malam di asrama mahasiswa, tak peduli Jogja yang disiram rinai hujan.
Mas Catur bercerita bahwa ia sebelumnya kuliah di UNY dengan memilih Program Studi Matematika. Lalu saya cek facebooknya benar ia pernah kuliah di sana tahun 2018. Cerita selanjutnya dari Mas Catur, ia terpaksa berhenti karena alasan ekonomi.
Dan, dengan upayanya yang gigih ia ikut ujian tulis (utul) UGM di tahun berikutnya dengan harapan mendapat beasiswa. Ia pun ingin membuktikan bahwa ia mampu menembus Universitas Indonesia dengan ikut ujian SIMAK.
Pemuda Wangon yang jelas nampak ngapaknya ini membuktikan diri bahwa ia mampu berkompetisi. Delapan belas kursi di Program Studi Ilmu Aktuaria UGM yang diperebutkan oleh sangat banyak peminat, satu kursi ia dapatkan.
Demikian juga di UI, ia diterima di Prodi Teknik Metalurgi & Material. Tapi, Mas Catur memilih Prodi Ilmu Aktuaria UGM. Sebuah pilihan yang tentu sudah dipikir masak-masak, apalagi beasiswa sudah di tangan.
Pilihan yang menurut saya tepat dan kini tinggal kerja keras untuk meraih mimpi. Saya yakin jika suatu saat nanti Mas Catur akan membuktikan teorema matematika seperti dikatakan dalam Buku NKS yang berbunyi: “Ndeso Tidak Berarti Nelongso”.
Akhirnya, Buku NKS menjadi hadiah sekaligus penyemangat untuk Mas Catur. Lalu sudah dapat ditebak kami berfoto bahwa Sedulur NKS bertambah satu yaitu pemuda ber-hoodie UGM. Sayangnya, Mas Catur tidak bisa lama bersama kami menikmati malam. Ia harus kembali menembus malam, berlari jika tidak ingin tidur di luar asrama yang menerapkan jam malam.
Sebelum berpamitan, saya memberi sebuah pesan saya. Pesan yang dulu pernah menjadi spirit hidudp saya. Tetaplah menjadi orang yang mencintai Banyumas, mencintai Indonesia. Jelas bahwa “Ora Ngapak, Ora Kepenak”. (Bersambung)
Nami Kulo Sumarjono. Salam NKS